Selasa, 13 Januari 2009

Takdir Allah

Suatu ketika orang bertanya kepada saya tentang takdir Allah. Ia mempertanyakan tentang nasibnya, yang selalu dirundung malang. Di antara pertanyaannya, apakah takdir Allah bagi seseorang dipengaruhi oleh cara orang tersebut berpikir, berperilaku, dan berusaha?

Ia juga mengatakan, ada orang yang saling menyayangi sampai bertahun-tahun, tapi mereka tidak sampai menikah, hubungan mereka terputus tanpa sebab yang kuat. Dan sebaliknya, ada orang yang bertemu dengan seseorang, dalam waktu singkat mereka menikah.

Lalu, lanjutnya, ada orang yang berusaha mencari rezeki dengan susah payah dan mengikuti ketentuan agama secara ketat, menjaga yang halal dan haram, tapi pendapatannya hanya cukup untuk hidup sederhana saja. Di lain pihak, ada orang yang berusaha tanpa modal, dan pekerjaannya tidak berat, namun hasilnya sangat menakjubkan, dalam waktu singkat ia memperoleh laba puluhan juta. Apakah ini Takdir Allah atau tidak?

Memang untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Yang penting dan harus kita yakini adalah, bahwa Allah menentukan sesuatu atas kehendak-Nya, tidak ada yang dapat mempengaruhi-Nya. Yang dapat dilakukan oleh manusia, hanya memohon dan berdoa kepada-Nya. Jika Dia mau mengabulkan permohonan hamba-Nya itu akan diberi-Nya apa yang dimohonkan hamba-Nya itu. Sesungguhnya Allah berjanji akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Nya.

Allah berfirman: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Q. S. 2 : 186) Jadi, takdir Allah tidak dipengaruhi oleh kemauan manusia. Namun demikian, Allah membuka kesempatan bagi manusia untuk berdoa dan memohon kepada-Nya. Hanya Allah menuntut agar manusia itu mematuhi segala perintah-Nya dan beriman kepada-Nya.

Dari tinjauan psikologi, sesungguhnya manusia membutuhkan iman kepada Allah, terutama bila manusia itu dihadapkan kepada kekecewaan yang amat sangat, apabila yang diharapkannya tidak tercapai, atau yang tidak diinginkannya terjadi.

Manusia hanya tahu apa yang telah terjadi dan dialaminya, akan tetapi ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa datang. Karena itu manusia perlu mendasarkan semua yang diinginkan dan diusahakannya menurut ketentuan Allah dan dalam batas-batas yang diridlai-Nya. Segala sesuatu yang terjadi, tidak ada yang di luar kehendak Allah. Orang yang teguh imannya kepada Allah, ia yakin bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, faktor X dan sebagainya.

Oleh karena itu orang beriman tidak mengenal putus asa. Jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan atas dirinya, ia segera ingat kepada Allah. Boleh jadi ada hikmahnya, yang saat ini ia belum mengetahuinya, ia dapat menghindari rasa kecewa. Firman Allah: Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q. S. 4 : 19) Jadi iman kepada Takdir Allah, dapat menjadi obat bagi gangguan kejiwaan dan dapat pula mencegah terjadinya gangguan kejiwaan.-

Jurnal Muslimah

Kafemuslimah.com

Belajar dari Masa Lalu

Kafemuslimah.com Suatu ketika, tiga orang petualang merencanakan untuk bersama-sama menaklukkan satu gunung yang dikenal dengan keganasan medannya. Rencanapun disusun sematang mungkin. Mulai dari perijinan, perbekalan, peralatan, persiapan fisik dan mental dan yang tidak kalah penting pematangan ketrampilan dasar minimal yang harus mereka kuasai agar dapat menyelesaikan ekspedisi kecil mereka dengan sukses. Saat tiba harinya, mereka memulai perjalanan dengan cermat dan berhati-hati. Ternyata memang terbukti keganasan alam di gunung itu. Cuaca yang cepat berubah membuat mereka harus selalu siaga membaca kondisi medan. Namun ternyata, menjelang sampai di puncak, badai yang menyapu mereka membuat salah satu anggota tim cedera sementara satu anggota tim yang lain mulai menunjukkan gejala mountain sickness. Akhirnya satu orang yang tersisa memutuskan untuk menghentikan perjalanan ke puncak. Mengingat dia adalah satu-satunya anggota tim yang masih sehat, maka mau tidak mau dia bertanggungjawab pada keselamatan dua rekannya. Karena itu dengan susah payah dia berusaha membawa mereka ke tempat yang aman dan terlindung dari badai. Setelah mendirikan tenda untuk kedua temannya, dia memutuskan untuk turun gunung mencari bantuan pada penduduk sekitar. Namun sebelum pergi, dia meninggalkan pesan pada kedua temannya untuk tidak meninggalkan lokasi camp sampai bantuan datang menjemput mereka. Segenap kekuatan dia kerahkan untuk mencapai pemukiman secepatnya hingga dia berhasil membawa bala bantuan untuk teman-temannya. Namun ternyata, yang tersisa hanya tenda dan perlengkapannya. Sedangkan dua orang temannya sudah tidak ada lagi di tempat itu. Sejak saat itu, mulailah operasi penyelamatan itu berubah menjadi operasi pencarian. Penyisiran jejak-jejak yang ditinggalkan korbanpun dilakukan hingga akhirnya mereka berdua ditemukan dalam keadaan telah meninggal di jurang. Analisa yang muncul, kedua korban berusaha turun gunung dengan kondisi mereka yang lemah, namun justru terjatuh.

Cerita diatas termasuk cerita yang biasa muncul dalam dunia petualangan. Selain keganasan alam itu sendiri, munculnya korban-korban sebagai akibat lemahnya kondisi fisik, kurangnya perbekalan dan perlengkapan, kurangnya kerjasama tim maupun rasa percaya diri dan ego yang tinggi merupakan latar belakang yang klise bagi para aktivisnya. Meski begitu, tetap saja kasus-kasus serupa terulang dengan sebab yang bervariasi.

Bila dianalogikan dengan liku-liku organisasi, sebenarnya faktor-faktor dalam contoh diatas adalah penyebab klasik terhambatnya kinerja suatu organisasi. Dalam mencapai suatu tujuan tertentu, manusia seringkali berusaha berkumpul untuk saling bekerja sama sehingga beban yang terpikul untuk mencapai tujuan itu dapat berkurang. Hal ini diharapkan dapat berimbas pada keberhasilan mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, bermunculanlah bermacam-macam organisasi yang masing-masing mempunyai tujuan, visi dan misi, serta latar belakang dan kebijakan yang berbeda-beda. Tidak terkecuali organisasi pergerakan dakwah Islam. Di Indonesia, kita akan menemui bermacam-macam organisasi pergerakan Islam seperti Hizbut Tahrir, Laskar Jihad, LDII, Muhammadiyah, NU, dll.

Dalam dunia dakwah, begitu banyak tantangan-tantangan yang dapat menghambat, bahkan memukul mundur gerakan dakwah. Tantangan itu tidak hanya berasal dari musuh-musuh Islam. Bahkan sebagian umat muslimpun, disadari atau tidak, banyak yang kurang mendukung gerakan dakwah Islam. Dengan adanya fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa tarbiyah Islamiyah menjadi satu konsekuensi logis dari adanya kebutuhan untuk mewujudkan kaum muslim yang mempunyai komitmen terhadap harakah Islamiyah. Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut, jelas diperlukan satu wadah yang dapat mengorganisir upaya tarbiyah Islamiyah tersebut. Dan saat berbagai unsur pendukung telah dipersiapkan, upaya untuk menjaga dan memelihara agar pelaksanaan tidak menyimpang dari tujuan awal sangat mutlak diperlukan. Apalagi saat di tengah-tengah proses yang mulai memperlihatkan tanda-tanda keberhasilan. Adakalanya muncul kepercayaan diri yang berlebihan hingga justru berakibat pada kegagalan.

Sejarah telah mengajarkan pada manusia. Selain kasus diatas, salah satu pelajaran berharga yang wajib untuk selalu diingat oleh para aktivis dakwah adalah kasus kelalaian para pemanah di perang Uhud. Dimana saat pasukan muslimin hampir mencapai kemenangan, keinginan para pemanah untuk mendapatkan ghanimah serta keyakinan akan kemenangan kaum muslim waktu itu membuat mereka lupa pada tugas penting mereka. Akibatnya, kemenangan yang hampir dicapai berbalik menjadi kekalahan. Banyak para sahabat yang syahid pada waktu itu, bahkan rasulullah sendiripun terluka dalam peperangan itu.

Banyak hal yang dapat diambil sebagai pelajaran dalam peristiwa itu. Dalam suatu organisasi, ada banyak faktor yang dapat menghambat kinerja jamaah dalam mencapai tujuan akhir mereka. Faktor-faktor itu diantaranya :

1. Motivasi awal seluruh anggota
Saat memasuki suatu jamaah, tentunya setiap anggota memiliki motivasi yang beragam. Namun ketika motivasi tersebut sejak awal sudah menyimpang dari tujuan awal berdirinya jamaah tersebut, maka dimungkinkan gerak anggota yang bersangkutan juga tidak akan efektif dan maksimal dalam mensukseskan tercapainya tujuan jamaah.

2. Kepercayaan diri/kebanggaan yang berlebihan
Tiap jamaah tentunya mengharapkan anggotanya memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap organisasinya. Karena itu diupayakan langkah-langkah yang efektif untuk membentuk sikap tersebut. Namun adakalanya, seorang anggota mempunyai dedikasi dan loyalitas yang terlalu tinggi. Kadang, rasa cinta dan kebanggaan yang berlebihan terhadap jamaahnya membuat anggota yang bersangkutan merasa bahwa hanya jamaahnya saja yang terbaik. Hal ini akan berbahaya bila justru membuat anggota yang bersangkutan jadi tidak mau tahu apapun tentang jamaah lain, termasuk diantaranya mempelajari kelebihan dari jamaah selain jamaahnya.

3. Egoisme tinggi yang melemahkan kemampuan kerjasama
Tiap manusia diciptakan dengan karakter pribadi yang berbeda. Dan saat berada dalam satu jamaah, sudah seharusnya ego dari masing-masing individu dikikis sehingga masing-masing pribadi mampu bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Namun adakalanya, manusia seringkali lupa bahwa saat dia memutuskan bergabung dengan satu jamaah, dia harus merelakan sebagian dari keinginan, harapan, tenaga, pikiran, waktu dan bahkan juga hatinya untuk mencapai tujuan bersama dari jamaah yang diikutinya. Dan ketika seorang anggota tidak mampu mengalahkan egonya demi kepentingan jamaahnya, yang terjadi hanyalah ketidaksesuaian antara gerak anggota yang bersangkutan dengan gerak jamaah yang diikutinya.

4. Lemahnya kepemimpinan
Satu contoh nyata kepemimpinan yang handal, jelas tertulis dalam sejarah dan dijadikan contoh sampai saat ini adalah kepemimpinan dan keteladanan dari rasulullah dan para sahabat. Atau bila merasa bahwa contoh dari mereka terlalu jauh untuk dijangkau oleh kita, mungkin kisah nyata berikut ini dapat pula dijadikan bahan pelajaran bagi calon-calon pemimpin.
Sekitar tahun 90-an, ditemukan sekelompok tim mapala yang meskipun tinggal tulang berbalut kulit, semua anggota tim selamat. Satu hal yang mencengangkan adalah, mereka berhasil selamat dari keganasan hutan belantara di Sumatra setelah sekian minggu dinyatakan hilang. Sementara, batas minimal kemampuan manusia tanpa asupan makanan yang berarti telah terlewati. Selamatnya satu tim itu membuktikan kehandalan pemimpin tim mereka. Seperti yang telah diketahui, secara psikologis manusia akan cenderung menjadi agresif dan irasional bila mereka berada dalam keadaan panik, takut dan juga lapar. Dalam kasus itu, pemimpin itu berhasil memompakan semangat untuk tetap survive pada masing-masing anggotanya hingga mereka dapat tetap bekerjasama yang membuahkan keselamatan mereka, meski bahkan sepatu kulit merekapun menjadi bahan makanan mereka untuk tetap bertahan hidup.

Kepemimpinan yang handal merupakan unsur yang harus dimiliki oleh tiap organisasi. Pemimpin yang handal akan mampu memanajemen berbagai unsur dan memadukan berbagai pribadi serta ego hingga masing-masing anggota mampu bekerjasama. Untuk mewujudkan itu diperlukan sebuah pribadi yang bermental kuat dan memiliki pemikiran yang matang. Banyak hal yang dapat mempengaruhi faktor lemahnya kepemimpinan ini antara lain : lemahnya pribadi dari pemimpin yang bersangkutan, kurangnya kontrol dari pemimpin terhadap anggotanya, ketidak sesuaian antara ucapan dengan realita yang dilakukan oleh pemimpin itu sendiri. Efek negatif yang mungkin timbul adalah tidak lagi didengarnya komando dari pimpinan itu sendiri. Selain itu, adanya tarik menarik antar berbagai kepentingan dari kaum elit jamaah yang bersangkutan juga dapat dijadikan sebagai indikasi lemahnya kepemimpinan. Dan ketika dalam suatu organisasi muncul faktor kelemahan kepemimpinan ini, maka peluang munculnya berbagai penyimpangan dari anggotapun akan sangat besar terjadi.

Ketidakseimbangan antara pengetahuan dan kematangan pribadi
Ketika anggota maupun pemimpin jamaah memiliki kualitas pengetahuan yang meningkat, namun tidak diimbangi dengan meningkatnya kematangan pribadinya, kemungkinan yang akan terjadi adalah munculnya gerak anggota tersebut yang kadang “mengejutkan”.

Ada satu contoh kasus menarik dalam hal ini : ketika menghadapi krisis SDM yang berkualitas,sebuah organisasi memutuskan untuk melakukan program peningkatan kualitas anggota barunya. Anggota elit organisasi itu mengerahkan segala kemampuan dan ilmunya untuk membentuk SDM yang handal baik di lapangan maupun organisasi. Bahkan ilmu-ilmu penemuan merekapun diajarkan kepada anggota tersebut. Hasilnya? Terbentuklah satu angkatan eksklusif dengan keahlian terbaik yang pernah dihasilkan oleh organisasi itu. Namun ternyata, barulah disadari bahwa akhirnya segelintir anggota tersebut menjadi besar kepala hingga bahkan meremehkan senior-senior mereka. Puncaknya, 5 orang dari kelompok eksklusif tersebut diketahui membocorkan “ilmu-ilmu rahasia” organisasi mereka pada organisasi lain yang sejenis dengan menjadi instruktur maupun pejabat inti dari organisasi rival mereka. Saat diadakan klarifikasi, akhirnya 2 orang dari mereka mau menyadari kekeliruannya. Sedangkan 3 orang yang lain justru berbalik menentang hingga akhirnya mereka dikeluarkan dengan tidak hormat melalui forum musyawarah anggota. Akibatnya, perpecahanpun terjadi antara anggota yang tersisa. Sebagian tetap membela, sebagian yang lain mendukung pemecatan tiga anggota tersebut. Yang lebih ekstrim, salah satu tim eksklusif tersebut menyatakan mengundurkan diri demi mendukung teman2 mereka. Meski di kemudian hari, akhirnya dia menyatakan menyesal atas keputusan yang dibuatnya sendiri.

Dari kasus diatas, jelas nyata terlihat akibat negatif dari tidak seimbangnya kualitas pengetahuan dengan kematangan pribadi terhadap kelangsungan organisasi

5. Potensi anggota yang tidak tersalurkan
Unsur ini juga menjadi salah satu faktor yang penting untuk diperhatikan oleh tiap aktivis suatu organisasi. Kasus pemecatan ketiga anggota seperti yang tertulis diatas dapat dijadikan contoh nyata pula. Pada saat Dewan Kehormatan dari organisasi tersebut melakukan pengusutan, ditemukan bahwa motivasi salah satu pelaku penyimpangan hanyalah karena ingin menunjukkan eksistensinya. Sebelum kasus tersebut terjadi, perilaku kontroversial dari anggota yang bersangkutan membuat aktivitasnya tidak “populer” dimata teman-temannya. Akibatnya, anggota tersebut merasa tidak berarti di mata teman-teman “seperjuangannya”. Hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk mencoba menunjukkan eksistensinya, dia ingin menunjukkan bahwa diapun mampu melakukan sesuatu yang membanggakan. Namun saat diklarifikasi, prasangka buruk terhadap saudara-saudaranya sendiri membuatnya justru terpisah dengan mereka. Hal-hal yang tidak diinginkan seperti ini tentu tidak akan terjadi bila dia tidak merasa “tersisih” sehingga potensi besar yang dimilikinya justru disalurkannya ke organisasi yang lain.
Cerita-cerita diatas termasuk salah satu dari sekian banyak kasus yang pernah terjadi dalam satu organisasi. Tentunya masih ada beberapa hal lagi yang dapat mempengaruhi maju mundurnya suatu organisasi. Dan saat faktor-faktor tersebut muncul, maka bersiaplah untuk menjemput kemunduran. Adalah kewajiban bagi tiap-tiap individu yang bergabung dalam satu jamaah untuk bercermin dari tiap peristiwa yang muncul dan mengambil pelajaran sehingga tidak akan terjadi pada organisasi yang digelutinya. Beruntunglah bila dia memutuskan untuk bergabung dalam satu harakah yang dibenarkan dalam Islam. Karena apapun yang akan dilakukannya untuk kemajuan jamaah itu insya Allah akan bernilai pahala untuknya. Tapi bagaimana bila jamaah yang diikutinya bertentangan dengan syariat Islam? Mungkin di satu sisi dia akan merasakan kepuasan dan kesenangan meski disisi lain, mungkin dia akan merasakan kekosongan. Sebaliknya, bagaimana bila justru dia merasakan tekanan dan ketidakpuasan saat bergabung dengan jamaah yang mengklaim diri mereka sesuai dengan syariat Islam?Ada dua kemungkinan jawaban :

1.Ada yang salah dalam penerapan sistem jamaah itu, atau
2.Perlu dievaluasi kembali motivasi dasar dari anggota yang bersangkutan hingga dia merasakan adanya tekanan/ketidakpuasan dalam jamaah tersebut. Sekarang, semoga pembaca dapat mencoba untuk mengevaluasi kembali, sampai dimana perkembangan dari masing-masing jamaah yang diikutinya?

Jurnal Muslimah

MA’RIFATUL RASUL oleh : Syaikh Utsaimin

Ar-Rusul bentuk jamak dari kata “rasul”, yang berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun yang dimaksud “rasul” di sini adalah orang yang diberi wahyu syara’ untuk disampaikan kepada umat.

Rasul yang pertama adalah Nabiyullah Nuh, dan yang terakhir adalah Nabiyullah Muhammad. Allah berfirman, yang artinya :
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya…” (An Nisaa 163)
Anas bin Malik dalam hadits syafaat menceritakan bahwa Nabi mengatakan, nanti orang-orang akan datang kepada Nabi Adam untuk meminta syafaat, tetapi Nabi Adam meminta maaf kepada mereka seraya berkata “Datangilah Nuh, rasul pertama yang diutus Allah…” (Al Bukhari)
Allah berfirman tentang Nabi Muhammad, yang artinya
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Ahzab 40)
Setiap umat tidak pernah sunyi dari nabi yang diutus Allah yang membawa syariat khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syariat sebelumnya yang diperbarui. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut…” (An Nahl 36)
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” (Fathir 24)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi…” (Al Maaidah 44)
Para rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikit pun keistimewaan rububiyah dan uluhiyah. Allah berfirman tentang Nabi Muhammad sebagai pimpinan para rasul dan yang paling tinggi pangkatnya di sisi Allah.
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al A’raaf 188)
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan. Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tidak seorang pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tidak akan memperoleh tempat berlindung daripada-Nya.” (Al Jin 21-22)
Para rasul juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti sakit, mati, membutuhkan makan dan minum, dan lain sebagainya. Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim yang menjelaskan sifat Rabbnya, yang artinya:
“dan Rabbku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)…” (Asy Syu’araa 79-81)
Nabi Muhammad bersabda :
“Aku tidak lain hanyalah manusia seperti kalian. Aku juga lupa seperti kalian. Karenanya, jika aku lupa, ingatkanlah.”
Allah menerangkan bahwa para rasul mempunyai ubudiyah (penghambaan) yang tertinggi kepada-Nya. Untuk memuji mereka, Allah berfirman tentang Nabi Nuh, yang artinya:

“…dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al Israa 3)
Allah Ta’ala juga berfirman tentang Nabi Muhammad, yang artinya:
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Al Furqan :1)
Allah juga berfirman tentang Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, dan Nabi Yaqub, yang artinya:
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Yaqub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (Shaad 45-47)
Allah juga berfirman tentang Nabi Isa bin Maryam, yang artinya :
“Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil.” (Az Zukhruf 59)
Iman kepada para rasul mengandung empat unsur:
1. Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah. Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka menurut pendapat seluruh ulama dia dikatakan kafir. Allah berfirman, yang artinya :
“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (Asy Syu’araa 105)
Allah menjadikan mereka mendustakan semua rasul, padahal hanya seorang rasul saja yang ada ketika mereka mendustakannya. Oleh karena itu umat Nasrani yang mendustakan dan tidak mau mengikuti nabi Muhammad n, berarti mereka juga telah mendustakan dan tidak mengikuti Nabi Isa Al Masih bin Maryam, karena Nabi Isa sendiri pernah menyampaikan kabar gembira dengan akan datangnya Nabi Muhammad n ke alam semesta ini sebagai rahmat bagi semesta alam. Kata “memberi kabar gembira” ini mengandung makna bahwa Muhammad adalah seorang rasul mereka yang menyebabkan Allah menyelamatkan mereka dari kesesatan dan memberi petunjuk kepada mereka jalan yang lurus. .

2. Mengimani orang-orang yang sudah kita kenali nama-namanya, misalnya Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa dan Nuh (i). Kelima nabi rasul itu adalah rasul “Ulul Azmi”. Allah telah menyebutkan mereka dalam dua tempat dari Al Qur’an, yakni dalam surat Al Ahzab dan surat Asy Syura, yang artinya:

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam…” (Al Ahzab 7)
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya…” (Asy Syuura 13)
Terhadap para rasul yang tidak kenal nama-namanya, juga wajib kita imani secara global. Allah berfirman, yang artinya :

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…” (Al Mu'’in 78)


3. Membenarkan berita-berita mereka yang benar.

4, Mengamalkan syariat orang dari mereka yang diutus kepada kita. Dia adalah nabi terakhir Muhammad yang diutus Allah kepada seluruh manusia. Allah berfirman, yang artinya:

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa 65)

Buah Iman kepada rasul-rasul :
1. Mengetahui rahmat serta perhatian Allah kepada hamba-hamba-Nya sehingga mengutus para rasul untuk menunjuki mereka pada jalan Allah serta menjelaskan bagaimana seharusnya mereka menyembah Allah, karena memang akal manusia tidak bisa mengetahui hal itu dengan sendirinya.

2. Mensyukuri nikmat Allah yang amat besar ini.

3. Mencintai para rasul, mengagungkannya, serta memujinya, karena mereka adalah para rasul Allah, dan karena mereka hanya menyembah Allah, menyampaikan risalah-Nya, dan menasihati hamba-Nya.
Orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mendustakan para rasul dengan menganggap bahwa para rasul Allah bukan manusia. Anggapan yang salah ini dijelaskan Allah dalam sebuah firman-Nya:
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka: “Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?” (Al Israa 94)
Dalam ayat di atas Allah mematahkan anggapan mereka yang keliru. Rasul Allah harus dari golongan manusia, karena ia akan diutus kepada penduduk bumi yang juga manusia. Seandainya penduduk bumi itu malaikat, pasti Allah akan menurunkan malaikat dari langit sebagai rasul.
Di dalam surat Ibrahim Allah menceritakan orang-orang yang mendustakan para rasul.

“Mereka (orang-orang yang mendustakan rasul) berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi kami dari apa yang selalu disembah oleh nenek moyang kami. Karena itu, datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.”Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan ijin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.” (Ibrahim 10-11)

sumber : alsofwah.or.id

MA’RIFATULLAH oleh : Syaikh Utsaimin

Iman kepada Allah mengandung empat unsur :
1.Mengimani Wujud Allah
Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indera.
a. Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya. Rasulullah bersabda :
“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang meyahudikan, mengkristenkan, atau yang memajusikannya.” (HR. Al-Bukhori)

b. Bukti akal tentang wujud Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.
Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.
Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
Allah menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath Thuur:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath Thuur 35)
Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah.

Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat ini :
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa?” (Ath Thuur 35-37)
“Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al -Bukhari)
Dalam hal ini kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang berkata kepada Anda tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada Anda bahwa istana dengan segala kesempurnaannya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti Anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini kami bertanya pada Anda, masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang berada di dalamnya tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?!

c. Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.

d. Bukti indera tentang wujud Allah dapat dibagi menjadi dua:
• Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah.
Allah berfirman :
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (Al Anbiyaa 76) “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu…” (Al Anfaal :9)
Anas bin Malik berkata, “Pernah ada seorang badui datang pada hari Jum’at. Pada waktu itu Nabi tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata, “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah untuk mengatasi kesulitan kami.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada hari Jum’at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta benda pun tenggelam, doakanlah akan kami ini (agar selamat) kepada Allah.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa: “Ya Rabbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan janganlah Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami.” Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat, kecuali menjadi terang (tanpa hujan).” (HR. Al Bukhari)
• Tanda-tanda para nabi yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud Yang Mengutus para nabi tersebut, yaitu Allah, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para rasul.
Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman, yang artinya :
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (Asy Syu’araa 63)
Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah.
“…dan aku menghidupkan orang mati dengan seijin Allah…” (Al Imran 49)
“…dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan ijin-Ku…” (Al Maidah :110)
Contoh ketiga adalah mukjizat Nabi Muhammad ketika kaum Quraisy meminta tanda atau mukjizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat menyaksikannya. Allah berfirman tentang hal ini, yang artinya:
“Telah dekat (datangnya) saat (Kiamat) dan telah terbelah pula bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (Al Qomar : 1-2)
Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujud-Nya.
2.Mengimani Rububiyah Allah
Mengimani rububiyah Allah maksudnya mengimani sepenuhnya bahwa Dialah Rabb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya.
Rabb adalah Yang berhak menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada Pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah dari-Nya. Allah telah berfirman, yang artinya:
“…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (Al A’raaf : 54)
“…Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (Faathir13)
Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah, kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir’aun ketika berkata kepada kaumnya, ”Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (An Naazi’aat 24), dan juga ketika berkata, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (Al Qashash : 38)
Allah berfirman, yang artinya :
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (An Naml :14)
Nabi Musa berkata kepada Fir’aun: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa.” (Al Israa’ : 102)
Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan). Allah berfirman, yang artinya ;
“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: ‘Apakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (Al Mu’minuun 84-89)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab, “Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Az Zukhru : 9)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Az Zukhruf 87) Perintah Allah mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara’ (syar’i). Dia adalah pengatur alam, sekaligus sebagai pemutus segala perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga pemutus peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu barangsiapa menyekutukan Allah dengan seorang pemutus ibadah atau pemutus muamalat, maka dia berarti telah menyekutukan Allah serta tidak mengimani-Nya.

3.Mengimani Uluhiyah Allah
Artinya, benar-benar mengimani bahwa Dialah ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Al-Ilah artinya “al-ma’luh”, yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah berfirman, yang artinya :
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah 163)
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al Imran 18)
Allah berfirman tentang Lata, Uzza, dan Manat yang disebut sebagai Tuhan, namun tidak diberi hak uluhiyah.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya ;
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya…” (An Najm 23)
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah, uluhiyahnya adalah batil. Allah Ta’ala Ta’ala berfirman, yang artinya ;
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Al Hajj :62)
Allah juga berfirman tentang Nabi Yusuf yang berkata kepada dua temannya di penjara, yang artinya: “Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu…” (Yusuf 40)
Oleh karena itu para rasul berkata kepada kaum-kaumnya :“Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (Al Mu’minun 32)
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil tuhan selain Allah. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah.
Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah dengan dua bukti:
a. Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak memiliki hidup dan mati, tidak memiliki sedikit pun dari langit dan tidak pula ikut memiliki keseluruhannya. Allah berfirman, yang artinya:
“Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (Al Furqan 3)
“Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diijinkan-Nya memperoleh syafaat…” (Saba’ 22-23)
“Apakah mereka mempersekutukan Allah (dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al A’raaf 191-192)
Kalau demikian keadaan tuhan-tuhan itu, maka sungguh sangat tolol dan sangat batil bila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.
b. Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang ditangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan rububiyah (ketuhanan) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah 21-22)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Az Zukhruf 87)
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus 31-32)

4.Mengimani Asma dan Sifat Allah
Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yakni menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah Rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan), ta’thil (penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana?), dan tamsil (menyerupakan).
Allah berfirman, yang artinya :
“Allah mempunyai asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al A’raaf 180)
“…Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi; dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (An Nahl 60)
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuura 11)
Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu:

1. Golongan Mu’aththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut perkiraan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

Pendapat ini jelas keliru karena:
a. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyalahi sebagian yang lain.

b. Kecocokan antara dua hal dalam nama dan sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengarannya, penglihatannya, dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki, dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama. Apabila antara makhluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.

2. Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain:

a. Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al Qur’an atau Sunnah rasul menunjukkan pengertian yang bathil.

b. Allah Ta’ala berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja.

Apabila Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak maklum, karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau pada makhluk sekali pun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda.

Apabila Allah memberitahuan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas Arsy-Nya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui.

Buah Iman kepada Allah:
1. Merealisasikan pengesaan Allah sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mahatinggi.
3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.

sumber : alsofwah.or.id

Pengertian Amal dan Ibadah

Kata amal artinya pekerjaan. Dalam bahasa Arab kata amal dipakai untuk semua bentuk pekerjaan. Tidak seperti anggapan sebagian masyarakat Muslim, yang mengembalikan kata amal dengan kata ibadah dan memahaminya sebatas kegiatan ritual seperti pergi ke masjid, membaca Alquran, shalat, puasa, haji, zakat, sedekah, dan sebagainya.
Dalam Alquran, kata amal terbagi kepada 'amalus-shalih (pekerjaan baik) dan 'amalun ghairus-shalih (pekerjaan yang tidak baik). 'Amalun ghairus-shalih disebut pula dengan 'amalus-sayyi-ah (amal salah), termasuk pula ke dalam kategori ini 'amalus-syaithan (pekerjaan setan) dan 'amalus-mufsidin (pekerjaan pelaku kebinasaan). Umat Islam diperintah melakukan 'amalus-shalih dan wajib menjauhi 'amalus-sayyi-ah.
Ada firman Allah SWT, ''Siapa yang mengerjakan kebaikan dia mendapat pahala dari perbuatannya itu dan siapa yang mengerjakan kejahatan maka orang yang melakukan kejahatan itu tidak dibalas kecuali menurut apa yang dikerjakannya.'' (Al-Qasas: 84).
Adapun kata ibadah artinya penyembahan atau pengabdian. Firman Allah SWT, ''Wahai sekalian manusia! Mengabdilah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan menciptakan orang-orang sebelummu, mudah-mudahan kamu bertakwa.'' (Al-Baqarah: 21). Ayat ini sekaligus menjelaskan bahwa yang namanya pengabdian dilakukan makhluk kepada khaliknya. Sesuai dengan bacaan shalat dalam surat Al-Fatihah ayat 5, ''Kepada-Mu saja (ya Allah) kami mengabdi dan kepada-Mu saja kami minta pertolongan.'' Pemahaman seperti ini menolak adanya istilah pengabdian kepada selain Allah SWT.
Memelihara dan memajukan bangsa dan tanah air, memakmurkan masyarakat, serta berbuat baik terhadap orang tua dan lain-lain, adalah bagian dari pengabdian kepada Allah SWT. Lalu apakah ibadah itu? Berdasarkan beberapa ayat Alquran dan hadis Rasulullah SAW, sekelompok ulama mendefinisikan ibadah sebagai berikut, ''Ibadah ialah usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan jalan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah umum adalah segala amal yang diizinkan Allah dan yang khusus ialah apa yang sudah ditetapkan perincian-perinciannya, tingkat, dan cara-caranya yang tertentu.''
Jadi, ibadah meliputi ibadah mahdhah (wajib) dan semua pekerjaan manusia yang dibenarkan Allah SWT atas niat karena Allah untuk mencari ridha Allah serta dengan mengindahkan segala ketentuan-Nya di sepanjang pelaksanaan pekerjaan itu. Sehingga, sinkronlah dengan firman Allah SWT dalam surat Az-Zariyaat ayat 56, ''Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, kecuali untuk semata-mata mengabdi kepada-Ku.'' Sejalan pula dengan pengakuan Muslim ketika membaca doa iftitah dalam shalat, sesuai dengan surat Al-An'am ayat 162, ''Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup, dan matiku hanya untuk Allah pengatur alam semesta.'' Wallahu a'lam. (Nasril Zainun)

sumber : republika



PENTINGNYA IBADAH

Wahai manusia beribadahlah untuk Rabbmu ysng menciptakanmu dsn orang-orang sebelummu agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan (untuk tempat tinggal), langit sebagai atap dan menurunkan air hujan dari langit kemudian dengan air iru Dia keluarkan buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu menjadikan tandingan-tandingan (sekutu-sekutu) bagi Allah padahal kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 21-22)
Dalam ayat di atas dijelaskan kalau manusia diciptakan Allah dengan tujuan agar manusia beribadah pada-Nya. Ada sebuah pertanyaan yang ada dalam benak kita, “kenapa kita harus beribadah kepada Allah?” Jawabnya ; karena Allah yang menciptakan kita dan memberi kita tempat tinggal dibumi ini dan memberikan rizki dari buah-buahan untuk menjamin kesejahteraah hidup kita dan pastinya kita semua ini menjadi orang-orang yang bertakwa. Kemudian ada pertanyaan lagi yang terbesit dipikiran kita, “kenapa kita harus bertakwa kepada Allah?” jawabnya yaitu supaya kita menjadi manusia yang mulia.
Syaikh Ibnu Taimiyah rahimatulullah mengatakan
“ ibadah adalah kata benda jamak yang menyatakan apa saja yang dicintai dan diridhoi Allah, mencakup perkataan dan perbuatan, baik yang lahir (tampak) maupun yang bathin (tak tampak).”
Berdasarkan pernyataan di atas dapat kita ketahui bahwa perkataan dan perbuatan apa saja yang dapat mengakibatkan cinta dan ridho Allah dapat disebut ibadah. Sekarang sudah jelas bahwa ibadah yang ditujukan hanya karena cinta dan ridho Allah semata, baik itu perkataan dan perbuatan yang tampak maupun tidak itu disebut ibadah. Untuk itu semua amalan apapun yang kita kerjakan, perembahkanlah hanya karena Allah semata karena hal itu akan dinilai sebagai ibadah dan hasilnya akan kita petik dihari akhir nanti.
Perbuatan dan perkataan yang bernilai ibadah hanya dapat kita ketahui dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, serta praktek para sahabat dan para shalih-shalih yang setia mengikuti dan mengamalkan sunnah Rasulullah . mengapa demikian? Karena Rasulullah SAW adalah manusia yang dipilih oleh Allah untuk menerima wahyu yang berisalah dari Allah dan tahu persis perkataan dan perbuatan, yang dikenal dengan sunnah Rasul. Allah berfirman :
“ Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu bagi yang mengharapkan (rahmat) hari akhir dan dia banyak menyebut nama Allah”.(Q.S. Al-Ahzab :21)
“Dan apa saja yang datang dari Rasul untuk kamu maka ambillah dan apa saja yang dilarang (untuk) kamu maka jauhilah(Q.S. Al-Hasr : 7)
Kaum Muhajirin dan Anshar adalah orang yang bertemu langsung dengan Rasulullah SAW sehingga tahu persis tentang perkataan dan perbuatan Rasulullah. Demikian pula, orang-orang yang bertemu langsung dengan para sahabat, yang dengan setia mengikuti jejak Rasulullah SAW dan para shalih yaitu orang-orang yang tahu betul bagaimana para sahabat mempraktekkan sunnah Raulullah pada zamannya, sehingga Allah Ta’ala ridho terhadapnya. Sebagaimana firman Allah :
“ orang-orang terdahulu generasi awal (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho kepada Allah maka Allah sediakan bagi meraka surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”(Q.S. At-Taubah : 100)
Dalam Alqur’an surat an-Naba’ 31-37 allah melukiskan surga dengan gambaran yang sangat dekat dengan nikmat-nikmat dalam keseharian kita. “ sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan. Yaitu kebun-kebun dan buah anggur dan gadis-gadis sebaya dan gelas-gelas yang penuh (dengan minuman). Dialamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-siadan tidak pula dusta, sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak, tuhan yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya.”
Sekarang bagaimana dengan neraka yang kabarnya sangat menakutkan !!!
Mendengar kata neraka, pasti yang ada dalam benak kita pasti kengerian-kengerian yang ada di dalamnya. Neraka yang penuh denga api yang bergejolak yang bahan bakarnya dari manusia dan batu. Meraung dengan mengerikan, marah pada manusia-manusia yang malah pada ngantri untuk memasukinya lantaran mereka adalah orang-orang yang melampaui batas dan orang-orang kafir dan meraka tinggal didalamnya berabad-abad lamanya. Coba bayangkan bagaimana panasnya dineraka? Di dunia saja bila kita berjalan ditengah terik matahari, yang pastinya membuat kita kepanasan dan gerah. Atau bisa kita coba, dengan merasakan panasnya korek api yang bila kita dekatkan diujung jari kita, bagaimanakah rasanya? Itu baru panasnya dunia, belum panasnya neraka.
Ada banyak alasan yang membuat kita mulai sekarang harus bersungguh-sungguh dalam setiap ibadah kita. Alasan pertama : Ibadah merupakan kesempatan besar untuk meraih cintaNya. Bukankah bila kita mendekat sejengkal maka Ia akan mendekat sehasta. Maka yakinlah bahwa Allah sungguh-sungguh mencintai kita.
Kedua : harus tahu umur kita sampai mana? Bisa jadi besok, hari ini dan bahkan detik ini juga. Dan kita juga tidak tahu kapan umur kita akan berhenti. Maka dari itu kita optimalkan hari-hari kita dengan beribadah kepada Allah SWT. Jadikanlah hari esok lebih baik dari sekarang. Supaya kita termasuk orang-orang yang beruntung.
Ketiga : sekarang kamu hitung berat dosa kamu dengan pahala kamu. Kira-kira berat mana? Dosa ataukah pahala kamu? Dan kalau kita tahu kalau kita banyak dosanya sementara pahala kita juga sedikit. Kalau kita sudah tahu bahwa dosa kita banyak maka kita harus tahu bagaimana menambah porsi pahala kita yaitu dengan beribadah kepada Allah dengan sungguh-sungguh sehingga Allah mengampuni dosa kita.dan kita akan mendapat pahala dari Allah SWT.
Keempat mari kita beli tiket yang sangat diidam-idamkan semua orang yaitu tiket surga. Bagaimanakah kita mendapatkannya? Tidak semua orang itu akan dapat memiliki tiket tersebut karena hanya orang yang bertakwa dan berimanlah yang akan mendapatkannya. Sekarang tanyakan kepada diri kamu sendiri apakah kamu sudah menjalankan kwajibannya? Seperti Sholat Fardhu, puasa romadhon, berbakti kepada orang tua ataukah kita sudah beramal shalih lainnya? Dan apakah kita sudah meningalkan larangannya?????hanya kamu senditi yang bisa menjawabnya…..



PENTINGNYA NIAT DALAM IBADAH


Diterimanya ibadah kita oleh Allah masih sangat tergantung pada niat kita, yakini untuk apa kita beribadah, apakah karena ingin mendapatkan cintanya Allah dan ridhonya ataukah kita ingin mendapatkan keuntungan duniawi semata. Hal ini dapat kita ketahui dari hadits berikut ;
“Umar bin Khatab berkata ; “saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda ; Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat. Dan tiap-tiap urusan tergantung untuk apa diniatkan. Oleh karena itu, barang siapa berhijrah karena Allah maka hijrahnya akan diterima oleh Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa berhijrah karena menghendaki keuntungan duniawi atau karena ada perempuan yang ingin dinikahi maka hijrahnya akan mendapatkan apa-apa yang diniatkan.”(HR. Bukhori-Muslim).
Walaupun hijrah adalah perbuatan yang bernilai ibadah tetapi apabila dilakukan dengan niat bukan untuk mendapakan cinta dan ridho dari Allah semata maka hijrah tersebut tidak akan diterima oleh Allah SWT. Demikian pula shalat kita yang dilakukan karena ingin mendapat pujian dari manusia atau karena riya’ bukan diniatkan karena Allah semata maka hal tersebut tidak akan dinilai ibadah.
“Dan tidaklah mereka itu diperintahkan kecuali beribadah kepada Allah dengan ikhlas kepadanya dalam agama yang lurus.”(QS. Al-Bayinnah:5)
Kedudukan niat ibadah itu terletak dalam hati seseorang sehingga Allah yang mengetahui. Dan kualitas seseorang dalam beribadah itu sangat tergantung pada kualitas imannya. Oleh karena itu, orang-orang kafir tidak dinilai amal perbuatannya disisi Allah karena orang-orang kafir tersebut tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Sebagaimana firman Allah ;
“Katakanlah, Apakah akan kami beritahukan kepadmu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia itu. Sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah. Dan perjumpaan dengan-Nya, maka hapuslah amal-amalannya, dan kami tidak akan melakukan penilaian terhadap amalan mereka terhadap hari kiamat.”(QS. Al-Kahfi :103-105).

Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan Tujuan Aqidah Islam

Aqidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang, yaitu:

1. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah kepada Allah satu-satunya. Karena Dia adalah Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan kepada-Nya satu-satunya.
2. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah ini, adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi yang dapat diindera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat.
3. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur. Hakim yang Membuat tasyri’. Oleh karena itu hatinya menerima takdir, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.
4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani para rasul yang mengandung mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan beramal baik kecuali digunakannya dengan mengharap pahala serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.
6. “Dan masing-masing orang yang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al An’am 132)
Nabi Muhammad SAW juga mengimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya:
“Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah dan jangan lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah engkau katakan: Seandainya aku kerjakan begini dan begitu. Akan tetapi katakanlah: Itu takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki Dia lakukan. Sesungguhnya mengandai-andai itu membuka perbuatan setan.” (muslim)
7. Mencintai umat yang kuat yang mengerahkan segala yang mahal maupun yang murah untuk menegakkan agamanya serta memperkuat tiang penyanggahnya tanpa perduli apa yang akan terjadi untuk menempuh jalan itu.
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurat 15)
8. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki individu-individu maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl 97)
Inilah sebagian dari tujuan akidah Islam. Kami mengharap agar Allah merealisasikannya kepada kami dan seluruh umat Islam.

sumber : alsofwah.or.id

Berprestasi Dengan Motivasi

Salah satu kunci agar kita bisa sukses hidup di dunia adalah motivasi. Makin besar motivasi kita untuk memperbaiki diri dan maju, kemungkinan sukses pun akan kian besar.

Motivasi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat harapannya terhadap sesuatu. Karena itu, ada tiga hal yang berkaitan erat denga prestasi, yaitu :

1. prestasi itu sendiri,

2. motivasi, dan

3. harapan.

Prestasi bisa diraih karena adanya motivasi dan motivasi akan tumbuh jika ada harapan.

Banyak manusia lebih sering mengeluarkan alasan ketimbang berbuat. Lebih mengkhawatirkan, semua itu terlahir hanya untuk menutupi kemalasan dan kegagalannya.

Ketika ditanya, misalnya, "Mengapa Anda tidak kuliah?"

Jawaban yang sering muncul adalah tidak punya uang, atau karena orang tua tidak sanggup membiayai, minder, dan sebagainya. Padahal, jika seseorang mau berbuat, semua itu bisa disiasati. Bisa dengan cara berwirausaha, atau mendapatkan beasiswa.

Begitu pula ketika ditanya, "Mengapa tidak mencoba berbisnis?"

Jawaban yang sering terlontar terlihat fatalis: takut gagal, tidak punya modal, banyak saingan, dan sebagainya. Karena itu, jangan heran jika kita tidak pernah maju. Bagaimana mau maju, motivasi untuk maju saja tidak ada?

Sebaik-baik sumber motivasi adalah ridha Allah SWT. Prestasi tertinggi seseorang dalam hal ini adalah mendapatkan surga. Sebaliknya, sumber motivasi terendah adalah dunia. Bila motivasi seseorang hanya tertuju pada dunia, yakinlah bahwa hanya kekecewaan yang akan ia dapatkan.

Seseorang yang berbisnis karena mencari dunia semata, akan kecewa bila bisnisnya merugi. Tapi bagi orang yang berbisnis karena Allah, setiap kegagalan bermakna pengalaman berharga untuk tidak jatuh dalam kegagalan serupa.

Ia juga akan menyadari bahwa semua terjadi karena izin Allah. Ia sadar bahwa keinginannya belum tentu sesuai menurut Allah. Tugasnya hanya meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar, perkara hasil ada di tangan Allah sepenuhnya. Inilah hakikat motivasi menuju prestasi yang hakiki. (Ems/MQ).*

sumber : republika Online

Arti Sebuah Niat

Dari Umar bin Khathab ra, Rasulullah SAW bersabda :

"Segala amal perbuatan bergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh pahala sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa yang berhijrah dengan niat mencari keuntungan duniawi atau untuk mengawini seorang perempuan, maka (pahala) hijrahnya sesuai dengan niatnya itu". (HR. Bukhari)

Penjelasan:

Rasulullah SAW mengucapkan hadis ini ketika beliau hijrah ke Yatsrib atau Madinah. Saat itu tersebar sebuah informasi bahwa ada seseorang yang ikut berhijrah karena mengejar wanita tunangannya. Nama wanita itu Ummul Qais. Sehingga pada waktu itu terkenal sebuah istilah muhajjir Ummul Qais atau yang berhijrah karena Ummul Qais. Niat biasanya diartikan sebagai getaran batin untuk menentukan jenis ibadah yang kita lakukan.

Contoh, kalau kita melakukan shalat pukul 05.30, ada beberapa kemungkinan; shalat Syukrul Wudhu, shalat Tahiyatul Masjid, shalat Fajar, Istikharah, atau shalat Shubuh. Setidaknya ada enam kemungkinan. Kita lihat semuanya sama, gerakannya sama, bacaannya sama, rakaatnya sama, tapi ada satu yang membedakannya yaitu niat. Masalah niat termasuk salah satu masalah yang mendapatkan perhatian "serius" dalam kajian Islam.

Niat dibahas panjang lebar baik itu dalam ilmu fikih, ushul fikih, maupun akhlak. Dalam ilmu fikih, niat ditempatkan sebagai rukun pertama dari rangkaian ibadah, seperti dalam shalat, zakat, puasa, maupun ibadah haji. Niat dalam ushul fikih biasanya dijadikan salah satu faktor yang menentukan status hukum suatu perbuatan. Nikah adalah salah satu contohnya. Ia bisa berstatus wajib, haram, dan sunnat, tergantung pada niat dari nikah tersebut.

Begitu pula ketika seseorang memakai gelar haji setelah pulang dari Makkah, hukumnya bisa wajib, bisa sunnat, bahkan haram. Tingkatannya sangat tergantung pada niat untuk apa ia memakai gelar haji tersebut. Niat dalam sudut pandang akhlak pengertiannya lebih menunjukkan getaran batin yang menentukan kuantitas sebuah amal. Shalat yang kita lakukan dengan jumlah rakaat yang sama, waktu yang sama, dan bacaan yang sama, penilaian bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya tergantung kualitas niatnya.

Niat yang tertinggi kualitasnya disebut ikhlas; sedangkan niat yang paling rendah kualitasnya disebut riya atau sum'ah, yaitu beribadah karena mengharapkan sesuatu selain keridhaan Allah. Rasulullah SAW pernah menyampaikan kekhawatiran tentang sesuatu yang di kemudian hari bisa menjangkiti umatnya.

Beliau bersabda :

"Sesungguhnya ada sesuatu yang aku takutkan di antara sesuatu yang paling aku takutkan menimpa umatku kelak, yaitu syirik kecil."

Para sahabat bertanya : "Apakah syirik kecil itu?"

Beliau menjawab : "riya."

Dalam sebuah hadis diceritakan pula bahwa di akhirat kelak akan ada sekelompok orang yang mengeluh, merangkak, dan menangis.

Mereka berkata, "Ya Allah di dunia kami rajin melakukan shalat, tapi kami dicatat sebagai orang yang tidak mau melakukan shalat".

Para malaikat menjawab :

"Tidakkah kalian ingat pada waktu kalian melakukan shalat kalian bukan mengharap ridha Allah, tapi kalian mengharap pujian dari manusia, kalau itu yang kalian cari, maka carilah manusia yang kau harapkan pujiannya itu."

Jelaslah, bahwa kualitas sebuah amal berbanding lurus dengan kualitas niat yang melatarbelakanginya.

Bila niat kita lurus, maka lurus pula amal kita. Tetapi bila niat kita bengkok, maka amal kita pun akan bengkok. Agar niat kita senantiasa lurus dan ikhlas, alangkah baiknya apabila kita menghayati kembali janji-janji yang selalu kita ucapkan saat shalat, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah seru sekalian alam".

Wallahu a'lam bish-shawab.



sumber : republika Online

Alat Ukur Keuntungan Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Ciri kapitalis itu dua. Pertama, dalam mencari keuntungan mereka tidak menggunakan tata nilai yang baik, mengeksploitir semuanya demi kepentingan diri dan konglomerasinya. Kedua, setelah mendapatkannya mereka kikir dan sibuk membesarkan dirinya.

Islam menghadirkan solusi, ada dua ciri profesional Muslim.

Pertama, ketika mencarinya, sangat menjaga nilai-nilai, sehingga kalau dia mendapatkan sesuatu, dirinya lebih bernilai daripada yang dia dapatkan. Kalau dia mendapat uang, maka dia dihormati bukan karena uangnya, tapi karena kejujurannya. Kalau dia mempunyai jabatan, dia disegani bukan karena jabatannya, tapi karena kepemimpinannya yang bijak, adil dan mulia.

Kedua, setelah mendapatkannya dia distribusikan untuk sebesar-besar manfaat bagi kemaslahatan umat. Makin kaya, makin banyak orang miskin yang menikmati kekayaannya.

Kita seringkali menganggap bahwa keuntungan itu adalah finansial (uang), sehingga sibuk menumpuk harta kekayaan untuk bermewah-mewahan. Inilah di antaranya yang membuat bangsa kita hancur.

Firman Allah, "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung." (QS Al Jumu'ah [62]: 10).

Carilah karunia Allah, bukan uang. Sesungguhnya keuntungan itu tidak identik dengan uang. Walaupun tidak mendapatkan uang, jika niatnya lurus dan cara berikhtiarnya benar, maka kita sudah beruntung, Allah yang akan mendatangkannya suatu saat kelak.

Alat ukur keuntungan dalam berbisnis atau bekerja itu ada lima. Pertama, yang namanya untung itu adalah kalau apa yang kita lakukan menjadi amal shaleh. Walaupun belum (atau bahkan tidak) mendapatkan uang, tetapi jika telah berkesempatan menolong orang lain, meringankan beban orang lain, memuaskan pembeli atau melakukan apapun yang menjadi kebaikan di sisi Allah, maka semua itu sudah merupakan keuntungan.

Sebaliknya, bisnis narkoba, perjudian, dan prostitusi itu menghasilkan banyak uang, tetapi jangan pernah merasa beruntung kalau bisnis itu berkembang. Itu semua bukan keuntungan, melainkan fitnah karena akan mendapat kutukan dan laknat dari Allah.

Kedua, yang namanya untung adalah kalau apa yang kita lakukan itu bisa membangun nama baik (citra diri) kita. Jangan sampai kita mempunyai banyak uang, tetapi nama baik kita hancur, dikenal sebagai penipu, pendusta atau koruptor. Apalah artinya kita mempunyai banyak harta, tapi citra kita hancur sehingga istri dan anak-anak menjadi tercekam dan terpermalukan. Kekayaan kita bukan pada tempelan (uang, pangkat, jabatan), kekayaan kita harus melekat pada citra diri kita.

Ketiga, yang namanya untung adalah kalau apa yang kita lakukan itu bisa menambah ilmu, pengalaman, dan wawasan. Jika kita mempunyai banyak uang, tetapi tidak berilmu, sebentar saja bisa hangus uang kita. Tidak sedikit orang yang mempunyai uang, tetapi tidak memiliki pengalaman, sehingga mereka mudah tertipu. Sebaliknya, misalkan uang kita habis karena dirampok, kalau kita memiliki ilmu, pengalaman, dan wawasan, kita bisa mencarinya lagi dengan mudah.

Keempat, yang namanya untung adalah kalau apa yang kita lakukan itu bisa membangun relasi atau silaturahmi. Oleh karenanya, jangan pernah hanya karena masalah uang hubungan baik kita dengan orang lain menjadi hancur.

Setiap orang yang terluka oleh kita, dia akan menceritakan luka di hatinya kepada orang lain. Dan ini akan menjadi benteng yang memenjarakan, kita semakin kecil. Jangan mencari musuh, tapi perbanyak kawan. Kalau kawan sudah mencintai kita, mereka akan bersedia untuk membela dan berkorban untuk kita, setidaknya mereka akan menceritakan sesuatu yang baik tentang kita.

Kelima, yang namanya untung itu tidak hanya sekadar untuk mendapatkan manfaat bagi diri sendiri, tetapi apa yang kita lakukan itu justru harus banyak menguntungkan dan memuaskan orang lain.

Oleh karena itu, kalau kita sudah meyakini bahwa pembagi rezeki adalah Allah, maka bisnis kita bukan lagi dengan manusia, tetapi dengan Allah, penggenggam setiap rezeki.

Waspadalah terhadap bisnis yang tidak menjadi amal, yang tidak menjadi nama baik, yang tidak menjadi ilmu, yang memutuskan silaturahmi, dan yang mengecewakan orang lain. Karena semua itu bukan keuntungan, tetapi bencana

Wallahu a’lam Bishowab



(republika/mqpub)[mq]***

























.


Bila Rumah Tangga Cinta Dunia
Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar



”Dan tiadalah kehidupan di dunia ini, melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesunguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui” Al-Ankabut ayat 64

Seakan telah menjadi bagian yang sangat standar dari skenario kehidupan ini, bahwa hampir sepanjang rentang usia dunia hingga saat ini, betapa banyak orang yang selama hidupnya begitu disibukkan oleh kerja keras, peras keringat banting tulang dalm mencari penghidupan, persis seperti ketakutan tidak kebagian makan. Apa yang telah diperolehnya dikumpul-kumpulkan dan ditimbun dengan seksama demi agar anak-anaknya terjamin masa depannya.

Ada juga orang yang dalam hidupnya teramat merindukan penghargaan dan penghormatan, sehingga hari-harinya begitu disibukan dengan memperindah rumah, mematut-matut diri, membeli aneka asesori, dan sebagainya, yang semua itu notabene dilakukan semata-mata ingin dihargai orang.

Inilah fenomena kehidupan yang menunjukan betapa manusia dalam kehidupannya akan selalu berpeluang dekat dengan hawa nafsu yan merugikan. Oleh sebab itu, bagi siapa pun yang berniat mengayuh bahtera rumah tangga, hendaknya jangan membayangkan rumah tangga akan beroleh kebahagiaan dan ketenangan bila hanya dipenuhi dengan hal-hal duniawi belaka. Karena, segala asesoris duniawi diberikan oleh ALLAH kepada orang yang terlaknat sekalipun.

Sekiranya tujuan sebuah rumah tangga hanya duniawi belaka, maka batapa para penghuninya akan merasakan letih lahir batin karena energinya akan lebih banyak terkuras oleh segala bentuk pemikiran tentang taktik dan siasat, serta nafsu menggebu untuk mengejar-ngejarnya terus menerus siang malam. Padahal, apa yang didapatkannya tak lebih dari apa yang telah ditetapkan ALLAH untuknya. Walhasil, hari-harinya akan terjauhkan dari ketenteraman batin dan keindahan hidup yang hakiki karena tak ubahnya seorang budak. Ya, budak dunia !

ALLAH ‘Azza wa jalla memang telah berfirman untuk siapa pun yang menyikapi dunia dengan cara apa pun : cara hak maupun cara bathil. “Hai dunia, titah-Nya, “ladeni orang yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya kepada-Ku. Akan tetapi sebaliknya, perbudak orang yang hidupnya hanya menghamba kepadamu” !

Rumah tangga yang hanya ingin dipuji karena asesoris duniawi yang dimilikinya, yang sibuk hanya menilai kebahagiaan dan kemuliaan datang dari perkara duniawi, adalah rumah tangga yang pasti akan diperbudak olehnya.

Rumah tangga yang tujuannya hanya ALLAH, ketika mendapatkan karunia duniawi, akan bersimpuh penuh rasa syukur kehadiratnya. Sama sekali tidak akan pernah kecewa dengan seberapa pun yang ALLAH berikan kepada-Nya. Demikian pun manakala ALLAH mengamininya kembali dari tangannya, sekali-kali tidak akan pernah kecewa karena yakin bahwa semua ini hanyalah titipannya belaka.

Pendek kata adanya duniawi di sisinya tidak membuatnya sombong tiadanya pun tiada pernah membuatnya menderita dan sengsara, apalagi jadi merasa rendah diri karenanya. Lebih-lebih lagi dalam hal ikhtiar dalam mendapatkan karunia duniawi tersebut. Baginya yang penting bukan perkara dapat atau tidak dapat, melainkan bagaimana agar dalam rangka menyongsong hati tetap terpelihara, sehingga ALLAH tetap ridha kepadanya. Jumlah yang didapat tidaklah menjadi masalah, namun kejujuran dalam menyongsongnya inilah yang senantiasa diperhatikan sungguh-sungguh. Karena, nilainya bukanlah dari karunia duniawi yang diperolehnya, melainkan dari sikap terhadapnya.

Oleh karena itu, rumah tangga yang tujuannya ALLAH Azza wa Jalla sama sekali tidak akan silau dan terpedaya oleh ada atau tidak adanya segala perkara duniawi ini. Karena, yang penting baginya,ketika aneka asesoris duniawi itu tergenggam di tangan, tetap membuat ALLAH suka. Sebaliknya, ketika semua itu tidak tersandang, ALLAH tetap ridha. Demikian pun gerak ikhtiarnya akan membuahkan cinta darinya.

Merekalah para penghuni rumah tanggga yang memahami hakikat kehidupan dunia ini. Dunia, bagaimana pun hanyalah senda gurau dan permainan belaka, sehingga yang mereka cari sesungguhnya bukan lagi dunianya itu sendiri, melainkan Dzat yang Maha memiliki dunia. Bila orang-orang pencinta dunia bekerja sekeras-kerasanya untuk mencari uang, maka mereka bekerja demi mencari dzat yang Maha membagikan uang kalau orang lain sibuk mengejar prestasi demi ingin dihargai dan dipuji sesama manusia, maka mereka pun akan sibuk mengejar prestasi demi mendapatkan penghargaan dan pujian dari Dia yang Maha menggerakan siapapun yang menghargai dan memuji

Perbedaan itu, jadinya begitu jelas dan tegas bagaikan siang dan malam. Bagi rumah tangga yang tujuannya yang hanya asesoris duniawi pastilah aneka kesibukannya itu semata-mata sebatas ingin mendapatkan ingin mendapatkan yang satu itu saja sedangkan bagi rumah tangga yang hanya ALLAH yang menjadi tujuan dan tumpuan harapannnya, maka otomatis yang dicarinya pun langsung tembus kepada Dzat Maha pemilik dan penguasa segala-galanya.

Pastikan rumah tangga kita tidak menjadi pencinta dunia. Karena, betapa banyak rumah tangga yang bergelimang harta, tetapi tidak pernah berbahagia. Betapa tak sedikit rumah tangga yang tinggi pangkat, gelar dan jabatannya, tetapi tidak pernah menemukan kesejukan hati. Memang, kebahagian yang hakiki itu hanyalah bagi orang-orang yang disukai dan dicintai oleh-Nya.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, periasam dan bermegah-megahan diantara kamu, serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menguning, kemudian menjadi hancur dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari ALLAH serta keridoannya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Q.S.Al-Hadid ayat 20]. Wallahu ‘alam. (fzyqn)



sumber : manajemenqolbu.com









.


Ciri Kedewasaan
Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar



Alhamdulillaahirabbil 'aalamiin, Allahuma shalli 'ala Muhammad wa 'ala aalihi washahbihii ajmai'iin, Semoga Allah yang Mengenggam langit dan bumi, membuka pintu hati kita semua agar dapat memahami hikmah dibalik kejadian apapun yang menimpa dan semoga Allah membimbing kita untuk bisa menyikapi kejadian apapun dengan sikap terbaik kita.

Ciri khas umat Dewasa diawali dengan Diam Aktif yaitu kemampuan untuk menahan diri dalam berkomentar. Orang yang memiliki kedewasaan dapat dilihat dari sikap dan kemampuannya dalam mengendalikan lisannya, seorang anak kecil, saudaraku apa yang dia lihat biasanya selalu dikomentari.

Orang tua yang kurang dewasa mulutnya sangat sering berbunyi, semua hal dikomentari, ketika dia melihat sesuatu langsung dipastikan akan dikomentari,ketika menonton televisi misalnya; komentar dia akan mengalahkan suara dari televisi yang dia tonton . Penonton tv yang dewasa itu senantiasa bertafakur, acara yang dia tonton senantiasa direnungkan (tentunya acara yang bermanfaat) dan memohon dibukakan pintu hikmah kepada Allah, SubhanALLAH.

Ketika menyaksikan demonstrasi dia bertafakur.. "beginilah kalau negara belum matang, setiap waktu demo,kata-kata yang dikeluarkan jauh dari kearifan" "ternyata sangat mudah menghina, mencaci, dan memaki itu" Seseorang yang pribadinya matang dan dewasa bisa dilihat dari komentar-komentarnya,makin terkendali Insya Allah akan semakin matang.

Ciri kedewasaan selanjutnya dapat dilihat dari Empati. Anak-anak biasanya belum dapat meraba perasaan orang lain, orang yang bertambah umurnya tetapi tidak dapat meraba perasaan orang lain berarti belum dapat disebut dewasa. Kedewasan seseorang dapat dilihat dari keberanian melihat dan meraba perasaan orang lain. Seorang ibu yang dewasa dan bijaksana dapat dilihat dari sikap terhadap pembantunya yaitu tidak semena-mena menyuruh, walaupun sudah merasa menggajinya tetapi bukan berarti berkuasa,bukankah di kantor ketika lembur pasti ingin dibayar overtime? tetapi pembantu lembur tidak ada overtime? semakin orang hanya mementingkan perasaannya saja maka akan semakin tidak bijaksana. Semakin orang bisa meraba penderitaan orang lain Insya Allah akan semakin bijak. Percayalah tidak akan bijaksana orang yang hidupnya hanya memikirkan perasaannya sendiri.

Orang yang dewasa, cirinya hati-hati (Wara’),dalam bertindak. Orang yang dewasa benar-benar berhitung tidak hanya dari benda, tapi dari waktu ; tiap detik,tiap tutur kata , dia tidak mau jika harus menanggung karena salah dalam mengambil sikap. Anak-anak atau remaja biasanya sangat tidak hati-hati dalam bercakap dan mengambil keputusan.Orang yang bersikap atau memiliki kepribadian dewasa (wara’) dapat dilihat dalam kehati-hatian memilih kata, mengambil keputusan,mengambil sikap, karena orang yang tidak dewasa cenderung untuk bersikap ceroboh.

Orang yang dewasa terlihat dalam kesabarannya (sabar), kita ambil contoh; di dalam rumah seorang ibu mempunyai 3 orang anak, yang satu menangis, kemudian yang lainnya pun ikut menangis sehingga lama-kelamaan menjadi empat orang yang menangis, mengapa karena ternyata ibunya menangis pula. Ciri orang yang dewasa adalah sabar, dalam situasi sesulit apapun lebih tenang, mantap dan stabil.

Sahabat-sahabat, seseorang yang dewasa benar-benar mempunyai sikap yang amanah, memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab.

Untuk melihat kedewasaan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya bertanggungjawab, sebagai contoh; seorang ayah dapat dinilai bertanggung jawab atau tidak yaitu dalam cara mencari nafkah yang halal dan mendidik anak istrinya? Bukan masalah kehidupan dunia, yang menjadi masalah mampu tidak mempertanggungjawabkan anak-anak ketika pulang ke akherat nanti? Ke surga atau neraka? Oleh karena itu orang tua harus bekerja keras untuk menjadi jalan kesuksesan anak-anaknya di dunia dan akherat.

Pernah ada seorang teman menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, ketika ditanya tentang sholatnya? ternyata tidak berjalan dengan baik karena orang-orangnya tidak ada yang sholat sehingga melakukannya pun kadang-kadang, apalagi untuk shalat Jumat jarang dilaksanakan, dengan alasan masjidnya jauh.

Lalu kenapa disekolahkan di Luar Negeri? alasannya adalah sebentar lagi globalisasi, ketika perdagangan bebas anak harus disiapkan. Tetapi bagaimana jika sebelum perdagangan bebas anaknya meninggal dunia? sudah disiapkan belum pulang ke akherat? orang yang dewasa akan berpikir keras bagaimana anak-anaknya bisa selamat? Jangan sampai di dunia berprestasi tapi di akherat celaka.

Saudaraku tidak cukup merasa bangga dengan menjadi tua, mempunyai kedudukan,jabatan, karena semua itu sebenarnya hanyalah topeng, bukan tanda prestasi. Prestasi itu adalah ketika kita semakin matang, dan semakin dewasa .

Kesuksesan kita adalah bagaimana kita bisa memompa diri kita dan menyukseskan orang-orang disekitar kita, kalau ingin tahu kesuksesan kita coba lihat perkembangan keluarga kita, istri dan anak-anak kita maju tidak? lihat sanak saudara kita pada maju tidak? Jangan sampai kita sendirian yang maju, tapi sanak saudara kita hidup dalam kesulitan, ekonominya seret, pendidikan seret.,sedang kita tidak ada kepedulian. Berarti itu sebuah kegagalan.,kedewasaan seseorang itu dilihat dari bagaimana kemampuan memegang amanah?

Wallahu’alam (andmikha)

sumber : manajemenqolbu.com











.


Doa Membangun Keluarga
Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar



Semoga Allah mengkaruniakan kita pendamping terbaik pilihan-Nya, sehingga perjuangan kita dalam meniti kehidupan berumah tangga senantiasa terasa indah dan menyejukan berkat pertolongan dan karunia Allah tersebut.

Berumah tangga bukanlah suatu hal yang mudah seperti halnya membalikan kedua telapak tangan. Jika tidak hati-hati dalam menitinya, baik dalam perencanaan maupun ketika mengarunginya, ia akan menjadi bagian dari sebuah penderitaan yang tiada bertepi bagi siapapun yang menjalaninya.

Sejak awal, Allah Swt. memperingatkan kepada setiap orang beriman agar hati-hati dalam hal tersebut, firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. At-Taghabun [64]:14).

Ayat di atas menjelaskan, bahwa bisa jadi pasangan yang telah kita pilih untuk mendampingi hidup kita dan anak-anak yang dilahirkannya menjadi musuh bagi diri kita. Seorang suami yang seharusnya menjadi seorang pemimpin di keluarga malah menjadi koruptor karena bujukan istrinya yang terus menggerutu karena diperbudak segala macam keinginan. Ayah dan ibu terhancurkan kehormatan dan harga diri keluarganya karena perilaku dan akhlaq buruk yang diperlihatkan anak-anak yang dilahirkannya.

Untuk itu, hal pertama yang harus kita lakukan adalah memohon kepada Allah dengan segala kelemahan diri agar Ia menolong dan mengkaruniakan kita pendamping terbaik dan anak-anak yang shalih dan shalihah. Maka doa yang diperintahkan Allah dalam Alquran untuk hal tersebut adalah: "Wahai Tuhan kami! Karuniakanlah kepada kami istri dan keturunan yang menjadi cahaya mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang memelihara dirinya (dari kejahatan)". (QS. Al-Furqan [25]:74).

Ciri-ciri dari yang dimaksud oleh doa ini adalah istri yang menyejukan ketika dipandang, dapat menjadi tauladan bagi siapapun. Ia juga tidak akan pernah memperlihatkan wajah yang muram durja, berbicara ketus dan rona wajah yang menyeramkan. Akhlaknya akan terlihat jauh lebih indah dibanding kecantikan wajah dan tubuhnya. Akhlaqnya akan tercermin dalam perilakunya sehari-hari, baik terhadap suami maupun orang lain di luar keluarganya (tetangga), seperti senantiasa hormat meski suaminya berumur sama dengannya, atau senantiasa menghargai siapapun yang ia temui termasu anak kecil sekalipun. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa menyejukan, bersih dan tidak pernah ada yang melukai.

Oleh karena itu, meski ia terus beranjak tua dan berubah karena perjuangannya dalam melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, namun ia akan tetap kelihatan cerah dan bersinar. Hal itu tiada lain karena cerminan dari suasana hati yang senantiasa bersih dan bening. Di samping itu, ia juga akan senantiasa bersyukur, menghadapi setiap kejadian dengan sabar dan yakin akan pelajaran dari Allah. Istri seperti ini tidak pernah meminta hal yang menjadi ketidakmampuan suaminya. Ia tidak pernah mau didahului bangun oleh suaminya, melainkan terlebih dahulu shalat dan munajat kepada Allah. Ia juga akan senantiasa memohon izin kepada suaminya untuk melakukan apapun yang akan ia kerjakan. Inilah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan istri shalihah yang menjadi perhiasan paling berharga bagi para suami.

Hal di atas tidak hanya berlaku bagi para suami atau siapapun yang berkehendak untuk menjadi suami, melainkan juga buat para istri atau yang berkehendak untuk menjadi seorang istri. Pernikahan bagi mereka harus menjadi ajang sebuah pelatihan guna meningkatkan kehati-hatian. Siapa pun yang berkehendak menuju momen ini, sangat dianjurkan untuk terus senantiasa berdoa kepada Allah dengan doa termaktub di atas. Doa ini harus betul-betul menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari

Jangan pernah memilih seorang laki-laki hanya dengan pertimbangan emosional belaka tanpa memperhatikan bagaimana akhlaq dan kepribadiannya. Calon suami yang baik dan senantiasa dapat membimbingnya harus menjadi bagian dari doa yang dipohonkannya kepada Allah, karena suami seperti inilah yang akan mendatangkan kebahagian yang hakiki bagi seorang istri. Ia akan memperhatikan apapun yang diinginkan oleh istrinya.

Istri akan senantiasa menjadi orang spesial dalam benak dan kehidupannya. Suami seperti ini akan senantiasa bersih ketika mau berhadapan dengan istri dan memanggil dengan panggilan terbaik. Jika kondisi istri berubah secara fisik, karena perjuangannya mengurus rumah tangga, ia akan menghiburnya dengan keuntungan-keuntungan di akhirat. Ia juga akan menutup kejelekan-kejelekan yang dimiliki oleh istrinya serta merasa terus tertuntut untuk melakukan kewajiban yang benar.

Tingginya derajat suami ditentukan oleh perjuangannya menjadi pemimpin rumah tangga, sehingga ia akan terus menuntut dirinya untuk senantiasa menjadi tauladan yang baik bagi keluarga yang dipimpinnya. Seorang suami pilihan Allah tidak pernah mau jadi beban bagi istrinya. Ia akan senantiasa memuji dan membuat istri senang, menjadikan kekurangan istrinya menjadi ladang amal untuk berlapang hati dan membantunya selalu berjuang untuk memperbaiki diri. Ia juga akan selalu berlapang dada bertukar pikiran membahas masalah-masalah yang ada di keluarganya dengan adil. Pada malam hari, ia akan mengajak istrinya untuk bermunajat menghadap Allah bersama-sama, meminta kepada Allah sebuah keluarga yang mendapatkan perlindungan-Nya pada saat tiada lagi perlindungan lain selain hanya dari-Nya dan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, bahagia di dunia dan akhirat.

Rahasia dari semua itu adalah perjuangan maksimal untuk memiliki ilmu tentang hal tersebut. Ilmu inilah yang akan membangun kebahagiaan di rumah tangga. Dengan ilmu ini, seorang suami atau istri akan berbuat apapun dengan penuh keikhlashan dan merasa ridha dalam melayani dan berkhidmat terhadap pasangannya masing-masing. Waallahu A'lam***



( Dimuat Di Tabloid MQ )















.


Hijab Antara Manusia Dengan Allah
Oleh : KH Abdullah Gymnastiar



"Tidak ada hijab apapun antara engkau dengan Allah Ta’ala, akan tetapi yang menjadi hijabnya antara dugaanmu ada lagi sesuatu yang lain di samping Allah.” (dari Mutu Manikam Kitab Al Hikam Syekh Ahmad Atailah)

Segala sesuatu pada hakikatnya tidak ada. Yang wajib ada hanyalah Allah Ta’ala. Hal selain itu tergantung kepada belas kasih Allah, hendak diadakan atau tidak, hendak diciptakan atau tidak.

Seorang ahli berkata : makhluk tidak dapat menjadi penghalang dan tidak dapat menjadi perantara.Makhluk hanyalah suatu bayangan, seperti bayangan pohon di dalam air. Bayangan pohon itu tidak dapat menjadi penghalang bagi perjalanan perahu. Oleh karena tidak ada penghalang antara abid dengan ma’bud. Hanya hamba sendiri yang merasa adanya penghalang tersebut dari bayangannya sendiri.

Saudaraku, apapun yang ada itu mutlak hanyalah makhluk Allah SWT, makhluk sesuka Allah, Dia yang Menciptakan, Dia Yang Membentuk, Dia Yang Memberi, Dia Yang Akan Mematikan, tidak ada satupun perbuatan makhluk atau manusia yang bisa menghalangi kehendak Allah SWT, Allahu Akbar.Terjadinya persoalan dalam hidup kita adalah kalau kita membesar-besarkan makhluk dan mengecilkan Allah.Ketika atasan dianggap sebagai pemberi rejeki maka terjadilah bawahan menjilat atasan, ketika pembeli dianggap sebagai pemberi rejeki akhirnya justru pedagang ditipu pembeli, ketika suami dianggap sebagai jalan kebahagiaan akibatnya bergantung kepada suami. Makin banyak kita bergantung kepada selain Allah, makin tidak tenang hidup ini, makin resah dan makin turun kualitas akhlaq kita, karena posisi yang sebenarnya adalah Allah Pencipta Alam Semesta menciptakan manusia untuk mengabdi kepada Allah menciptakan dunia berikut isinya, Allah menciptakan semua, melayani kita supaya kita menghamba kepada Allah SWT.

Banyak orang yang jadi hina dan sengsara karena posisi dia menjadi pelayan budak dia, Allah menciptakan uang supaya kita dapat dekat dengan Allah lewat uang yang dititipkan, agar bisa bersadaqah, zakat dan menolong orang sehingga derajat dia akan meningkat di sisi Allah. Tapi banyak orang yang dirinya menjadi hamba uang, demi mencari uang dia sanggup berbuat licik, demi mencari uang dia mencuri, demi mendapatkan uang dia korupsi, padahal jauh sebelum kita dilahirkan rejeki kita sudah diciptakan oleh Allah SWT, Subhanallah, empat bulan di perut ibu sudah beres pembagian rejeki kita “ kita tidak disuruh mencari uang tapi “Waabtaghuu Min Fadlillaah “(QS. 62 ; 10) “Mencari karunia Allah” , rejeki yang barokah”

Jadi orang tidak akan tenang dalam hidup, sebelum dia yakin makhluk itu hanya alat dari Allah untuk sampainya nikmat atau sampainya musibah,tidak ada satupun pembeli yang bisa menyampaikan rejeki kepada kita tanpa izin Allah, maka seorang pedagang yang ahli ma’rifat tidak ada selera untuk mengikat pembeli, yang dia selera adalah dia melakukan yang terbaik bagi pembeli, jadi atau tidak rejekinya sampai kepada dia, yang terpenting dengan berjualan dapat menjadi amal .

Kalau kita yakin Allah akan mencukupi maka pasti cukup,karena Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya, inilah sebenarnya yang berharga. Banyak orang yang tidak pernah mau berlatih, puas hanya dengan jaminan dari Allah, selebihnya kecewa. Kalau kita ingin dicukupi hidupnya oleh Allah, pantangannya hanya satu “Pantang berharap kepada makhluk!” karena Allah Maha Pencemburu, Allah Yang Membagikan rejeki tidak suka makhluknya bergantung kepada makhluk, kalau hamba bergantung hanya kepada Allah “Wamayyatawakkal ‘allallah fahuwa hasbuh” Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).(QS. Ath Thalaq ; 2-3)

Rejeki tidak selalu identik dengan makanan, uang , pujian tetapi kesabaran juga rejeki SubhanALLAH. Jadi orang yang banyak rejeki jangan dihitung dari orang yang banyak tabungannya, karena tabungan itu dilihat tidak dipegang tidak, rejeki itu adalah bagaimana Allah membimbing kita supaya kita dekat dengan Allah, adakalanya dalam bentuk hutang gara-gara hutang tiap malam menjadi tahajud, adakalanya dalam bentuk disakiti oleh suami, jadi tolong selalu yakini rejeki yang terbesar adalah ketika hijab diangkat menjadi yakin kepada Allah, itulah yang membuat kita terjamin dalam hidup ini.

"Andaikata Allah tidak menampakan kekuasaan pada benda-benda alam, tidak mungkin adanya penglihatan pada-Nya. Andaikata Allah Ta’ala menampakan sifat-sifat-Nya, pasti benda-benda itu akan musnah” Andaikata Allah Ta’ala menampakan diri-Nya pada makhluk di alam semesta ini, maka Allah akan mudah terlihat.. Akan tetapi Allah tidak akan menyatakan dirinya dalam bentuk benda, sebab benda-benda itu adalah ciptaan Allah sendiri. Pencipta lebih mulia dari hasil ciptaan-Nya. Oleh karena itu sang Pencipta menunjukan dirinya dalam bentuk ciptaan-ciptaan-Nya sendiri.Sebab, kalau demikian, tidak ada bedanya antara Maha Pencipta dengan ciptaan-Nya.Dan benda-benda ciptaan itu akan hancur berantakan apabila wujud Allah sama dengan benda-benda. (dari Mutu Manikam Kitab Al Hikam Syekh Ahmad Atailah).

Allah itu menciptakan kita, dan kita tidak dapat melihat Allah yang sebenarnya, karena yang kita tahu hanyalah makhluk dan makhluk itu lemah, mata kita tidak bisa melihat Allah karena mata ini sangat lemah, melihat jauh saja tidak sanggup, sangat dekat pun tidak kelihatan. Kita bahkan tidak tahu alis kita yang sebenarnya, bulu mata, hidung, yang terdekat dengan mata saja tidak pernah terlihat, pendengaran kita juga lemah, kita tidak bisa mendengar semuanya, frekuensi yang lebih tinggi ataupun lebih rendah dari kemampuan pendengaran kita,suhu untuk tubuh kita juga terbatas andaikata diberikan suhu yang lebih tinggi ataupun lebih rendah tentu tidak akan sanggup kita menahannya.

Jadi bagaimana mungkin makhluk yang lemah bisa melihat Allah Yang Maha Sempurna, oleh karena itu Allah menciptakan qolbu dan hati inilah sebenarnya yang bisa merasakan kehadiran Allah SWT sepanjang hatinya bersih, andaikata hati kita bersih dapat kita rasakan Allah Yang Maha Menatap, Allah menggenggam langit, Allah menciptakan semuanya agar kita berpikir, "(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau Menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(QS. 3: 191). Saudara-saudaraku, jika kita menginginkan hidup kita tenang maka kita harus serius untuk terus berjuang membersihkan hati ini.Wallahu a’lam. (mikha)[manajemenqolbu.com]***





.


Kita Adalah Bersaudara
Oleh : KH Abdullah Gymnastiar



Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (QS. 49 ; 10)

Alhamdulillaahirabbil ‘aalamiin, Allahuma shalli ‘ala Muhammad wa’ala aalihi washahbihii ajmaiin, "Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat" (QS. Al Hujurat (49) ayat 10 ).

Saudara-saudaraku, sahabat-sahabat sekalian Innamal mu’minuuna ikhwah, orang yang beriman itu adalah bersaudara bukan musuh jika terjadi sedikit perbedaan seperti perbedaan qunut, ushali, atau jumlah rakaat shalat tarawih, hal itu tidak harus menjadi musuh, karena musuh kita adalah kaum dzolimin.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim". (QS. Al Hujurat(49) ayat 11)

ayat ini membahas mengenai larangan mengejek satu kaum terhadap kaum yang lain yang sama-sama punya iman walaupun misalnya berbeda partai akan tetapi sama-sama beriman kepada ALLAH SWT,tidak boleh saling mengejek. Begitu juga jika sama-sama kelompok majelis ta’lim, sesama ustadz saling mengejek? Naudzubillah. Lalu kenapa disini disorot wanita harus mampu mengendalikan ucapannya. Hal ini kemungkinan disebabkan pekerjaannya kurang banyak sehingga waktu yang ada digunakan untuk mengobrol. Jadi jelas sekali Al Quran melarang wanita atau akhwat jangan suka mengejek yang lain karena bisa jadi wanita yang kita ejek itu lebih mulia dihadapan ALLAH daripada yang mengejek, ini harus hati-hati karena ALLAH-lah Yang Melarang Mengolok-olok, selain itu tidak boleh kita menghina diri sendiri, karena orang yang mengejek diri sendiri dapat dikatakan kufur nikmat, jangan suka membanding-bandingkan dengan orang lain, karena semuanya ALLAH-lah Yang Menciptakan.

Jangan suka mengolok-olok atau dengan panggilan yang buruk misal kafir, fasik, munafik, monyet atau panggilan yang tidak baik yang berhubungan dengan Iman atau menghina orang tua orang lain karena dengan begitu berarti sama saja dengan menghina orang tua kita,tetapi panggilah dengan gelaran-gelaran yang baik.

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka , sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujurat(49) ayat 12 )

Prasangka itu ada dua macam; husnudzon atau Suudzon, ada baik sangka dan ada buruk sangk, ketahuilah yang sebagian prasangka itu adalah dosa, yang tidak boleh itu adalah Suudzon itu, misalnya kita mengatakan kepada rekan kita tentang rekan kita yang lain “hey hati-hati si fulan suka buruk sangka kepada kita ? sebenarnya itu sudah termasuk berburuk sangka kepada orang lain. Oleh karena itu kita harus waspada.

Tapi husnudzon pun jatuhnya hanya kepada orang yang beriman, misalkan di bis ada yang membuka dompet kita , lalu kita berbaik sangka “ oh mungkin dia akan menghitungkan uang saya…”, itu tentu baik sangka yang konyol karena pasti orang itu adalah pasti copet. kepada orang yang beriman jangan sering melakukan “walaa tajassasu” suka mengorek-ngorek aib, suka mencari-cari kesalahan kecuali untuk tindakan keadilan pencegahan kemunkaran , saudaraku dengan menceritakan keburukan orang lain berarti kita telah ghibah, ghibah itu batasannya kalau ucapan yang diceritakan membuat orang sakit hati andaikata mendengarnya

"Hai manusia , sesungguhnya Kami Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Menjadikan kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al Hujurat(49) ayat 13)

Manusia diciptakan berbagai suku,berbagai bangsa semua itu ditujukan agar saling kenal-mengenal, kita jangan membenci orang Amerika karena orang Amerika tidak pesan untuk dilahirkan di sana, di Amerika yang sholeh ada yang bathil pun ada, persis sekali di kita yang sholehnya hanya sedikit, darimana kita tahu di Indonesia yang sholehnya sedikit? karena kalau di kita yang orang yang sholehnya banyak tentu tidak negara kita bangkrut seperti ini.

Dalam kehidupan ini tidak boleh saling menghina karena perbedaan Negara, ada yang diciptakan di Amerika, Cina, jangan menghina negaranya ! yang buruk itu adalah keputusan-keputusan politiknya, ketidakadilannnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Pernikahan tidak boleh terhadang oleh perbedaan suku, karena semuanya sama-sama diciptakan Allah SWT. Ketika zaman Rasulullah Muhammad SAW, Bilal yang hitam legam tetap mulia disisisi Allah, lalu Salman Al Farisi dari Persia tetap saja mulia disisi Allah, sebenarnya perbedaan lintas Negara, suku, bangsa merupakan nilai Ukhuwah inna akromakum ‘inndalloohi attqookum yang mulia bukan warna, kulit, jabatan, gelar, pangkat,akan tetapi yang shleh dan taat pada ALLAH SWT itulah yang mulia. Wallahua’lam.

(and/mikha/aef)[manajemenqolbu.com]***