Selasa, 13 Januari 2009

Takdir Allah

Suatu ketika orang bertanya kepada saya tentang takdir Allah. Ia mempertanyakan tentang nasibnya, yang selalu dirundung malang. Di antara pertanyaannya, apakah takdir Allah bagi seseorang dipengaruhi oleh cara orang tersebut berpikir, berperilaku, dan berusaha?

Ia juga mengatakan, ada orang yang saling menyayangi sampai bertahun-tahun, tapi mereka tidak sampai menikah, hubungan mereka terputus tanpa sebab yang kuat. Dan sebaliknya, ada orang yang bertemu dengan seseorang, dalam waktu singkat mereka menikah.

Lalu, lanjutnya, ada orang yang berusaha mencari rezeki dengan susah payah dan mengikuti ketentuan agama secara ketat, menjaga yang halal dan haram, tapi pendapatannya hanya cukup untuk hidup sederhana saja. Di lain pihak, ada orang yang berusaha tanpa modal, dan pekerjaannya tidak berat, namun hasilnya sangat menakjubkan, dalam waktu singkat ia memperoleh laba puluhan juta. Apakah ini Takdir Allah atau tidak?

Memang untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Yang penting dan harus kita yakini adalah, bahwa Allah menentukan sesuatu atas kehendak-Nya, tidak ada yang dapat mempengaruhi-Nya. Yang dapat dilakukan oleh manusia, hanya memohon dan berdoa kepada-Nya. Jika Dia mau mengabulkan permohonan hamba-Nya itu akan diberi-Nya apa yang dimohonkan hamba-Nya itu. Sesungguhnya Allah berjanji akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Nya.

Allah berfirman: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Q. S. 2 : 186) Jadi, takdir Allah tidak dipengaruhi oleh kemauan manusia. Namun demikian, Allah membuka kesempatan bagi manusia untuk berdoa dan memohon kepada-Nya. Hanya Allah menuntut agar manusia itu mematuhi segala perintah-Nya dan beriman kepada-Nya.

Dari tinjauan psikologi, sesungguhnya manusia membutuhkan iman kepada Allah, terutama bila manusia itu dihadapkan kepada kekecewaan yang amat sangat, apabila yang diharapkannya tidak tercapai, atau yang tidak diinginkannya terjadi.

Manusia hanya tahu apa yang telah terjadi dan dialaminya, akan tetapi ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa datang. Karena itu manusia perlu mendasarkan semua yang diinginkan dan diusahakannya menurut ketentuan Allah dan dalam batas-batas yang diridlai-Nya. Segala sesuatu yang terjadi, tidak ada yang di luar kehendak Allah. Orang yang teguh imannya kepada Allah, ia yakin bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, faktor X dan sebagainya.

Oleh karena itu orang beriman tidak mengenal putus asa. Jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan atas dirinya, ia segera ingat kepada Allah. Boleh jadi ada hikmahnya, yang saat ini ia belum mengetahuinya, ia dapat menghindari rasa kecewa. Firman Allah: Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q. S. 4 : 19) Jadi iman kepada Takdir Allah, dapat menjadi obat bagi gangguan kejiwaan dan dapat pula mencegah terjadinya gangguan kejiwaan.-

Jurnal Muslimah

Kafemuslimah.com

Belajar dari Masa Lalu

Kafemuslimah.com Suatu ketika, tiga orang petualang merencanakan untuk bersama-sama menaklukkan satu gunung yang dikenal dengan keganasan medannya. Rencanapun disusun sematang mungkin. Mulai dari perijinan, perbekalan, peralatan, persiapan fisik dan mental dan yang tidak kalah penting pematangan ketrampilan dasar minimal yang harus mereka kuasai agar dapat menyelesaikan ekspedisi kecil mereka dengan sukses. Saat tiba harinya, mereka memulai perjalanan dengan cermat dan berhati-hati. Ternyata memang terbukti keganasan alam di gunung itu. Cuaca yang cepat berubah membuat mereka harus selalu siaga membaca kondisi medan. Namun ternyata, menjelang sampai di puncak, badai yang menyapu mereka membuat salah satu anggota tim cedera sementara satu anggota tim yang lain mulai menunjukkan gejala mountain sickness. Akhirnya satu orang yang tersisa memutuskan untuk menghentikan perjalanan ke puncak. Mengingat dia adalah satu-satunya anggota tim yang masih sehat, maka mau tidak mau dia bertanggungjawab pada keselamatan dua rekannya. Karena itu dengan susah payah dia berusaha membawa mereka ke tempat yang aman dan terlindung dari badai. Setelah mendirikan tenda untuk kedua temannya, dia memutuskan untuk turun gunung mencari bantuan pada penduduk sekitar. Namun sebelum pergi, dia meninggalkan pesan pada kedua temannya untuk tidak meninggalkan lokasi camp sampai bantuan datang menjemput mereka. Segenap kekuatan dia kerahkan untuk mencapai pemukiman secepatnya hingga dia berhasil membawa bala bantuan untuk teman-temannya. Namun ternyata, yang tersisa hanya tenda dan perlengkapannya. Sedangkan dua orang temannya sudah tidak ada lagi di tempat itu. Sejak saat itu, mulailah operasi penyelamatan itu berubah menjadi operasi pencarian. Penyisiran jejak-jejak yang ditinggalkan korbanpun dilakukan hingga akhirnya mereka berdua ditemukan dalam keadaan telah meninggal di jurang. Analisa yang muncul, kedua korban berusaha turun gunung dengan kondisi mereka yang lemah, namun justru terjatuh.

Cerita diatas termasuk cerita yang biasa muncul dalam dunia petualangan. Selain keganasan alam itu sendiri, munculnya korban-korban sebagai akibat lemahnya kondisi fisik, kurangnya perbekalan dan perlengkapan, kurangnya kerjasama tim maupun rasa percaya diri dan ego yang tinggi merupakan latar belakang yang klise bagi para aktivisnya. Meski begitu, tetap saja kasus-kasus serupa terulang dengan sebab yang bervariasi.

Bila dianalogikan dengan liku-liku organisasi, sebenarnya faktor-faktor dalam contoh diatas adalah penyebab klasik terhambatnya kinerja suatu organisasi. Dalam mencapai suatu tujuan tertentu, manusia seringkali berusaha berkumpul untuk saling bekerja sama sehingga beban yang terpikul untuk mencapai tujuan itu dapat berkurang. Hal ini diharapkan dapat berimbas pada keberhasilan mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, bermunculanlah bermacam-macam organisasi yang masing-masing mempunyai tujuan, visi dan misi, serta latar belakang dan kebijakan yang berbeda-beda. Tidak terkecuali organisasi pergerakan dakwah Islam. Di Indonesia, kita akan menemui bermacam-macam organisasi pergerakan Islam seperti Hizbut Tahrir, Laskar Jihad, LDII, Muhammadiyah, NU, dll.

Dalam dunia dakwah, begitu banyak tantangan-tantangan yang dapat menghambat, bahkan memukul mundur gerakan dakwah. Tantangan itu tidak hanya berasal dari musuh-musuh Islam. Bahkan sebagian umat muslimpun, disadari atau tidak, banyak yang kurang mendukung gerakan dakwah Islam. Dengan adanya fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa tarbiyah Islamiyah menjadi satu konsekuensi logis dari adanya kebutuhan untuk mewujudkan kaum muslim yang mempunyai komitmen terhadap harakah Islamiyah. Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut, jelas diperlukan satu wadah yang dapat mengorganisir upaya tarbiyah Islamiyah tersebut. Dan saat berbagai unsur pendukung telah dipersiapkan, upaya untuk menjaga dan memelihara agar pelaksanaan tidak menyimpang dari tujuan awal sangat mutlak diperlukan. Apalagi saat di tengah-tengah proses yang mulai memperlihatkan tanda-tanda keberhasilan. Adakalanya muncul kepercayaan diri yang berlebihan hingga justru berakibat pada kegagalan.

Sejarah telah mengajarkan pada manusia. Selain kasus diatas, salah satu pelajaran berharga yang wajib untuk selalu diingat oleh para aktivis dakwah adalah kasus kelalaian para pemanah di perang Uhud. Dimana saat pasukan muslimin hampir mencapai kemenangan, keinginan para pemanah untuk mendapatkan ghanimah serta keyakinan akan kemenangan kaum muslim waktu itu membuat mereka lupa pada tugas penting mereka. Akibatnya, kemenangan yang hampir dicapai berbalik menjadi kekalahan. Banyak para sahabat yang syahid pada waktu itu, bahkan rasulullah sendiripun terluka dalam peperangan itu.

Banyak hal yang dapat diambil sebagai pelajaran dalam peristiwa itu. Dalam suatu organisasi, ada banyak faktor yang dapat menghambat kinerja jamaah dalam mencapai tujuan akhir mereka. Faktor-faktor itu diantaranya :

1. Motivasi awal seluruh anggota
Saat memasuki suatu jamaah, tentunya setiap anggota memiliki motivasi yang beragam. Namun ketika motivasi tersebut sejak awal sudah menyimpang dari tujuan awal berdirinya jamaah tersebut, maka dimungkinkan gerak anggota yang bersangkutan juga tidak akan efektif dan maksimal dalam mensukseskan tercapainya tujuan jamaah.

2. Kepercayaan diri/kebanggaan yang berlebihan
Tiap jamaah tentunya mengharapkan anggotanya memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap organisasinya. Karena itu diupayakan langkah-langkah yang efektif untuk membentuk sikap tersebut. Namun adakalanya, seorang anggota mempunyai dedikasi dan loyalitas yang terlalu tinggi. Kadang, rasa cinta dan kebanggaan yang berlebihan terhadap jamaahnya membuat anggota yang bersangkutan merasa bahwa hanya jamaahnya saja yang terbaik. Hal ini akan berbahaya bila justru membuat anggota yang bersangkutan jadi tidak mau tahu apapun tentang jamaah lain, termasuk diantaranya mempelajari kelebihan dari jamaah selain jamaahnya.

3. Egoisme tinggi yang melemahkan kemampuan kerjasama
Tiap manusia diciptakan dengan karakter pribadi yang berbeda. Dan saat berada dalam satu jamaah, sudah seharusnya ego dari masing-masing individu dikikis sehingga masing-masing pribadi mampu bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Namun adakalanya, manusia seringkali lupa bahwa saat dia memutuskan bergabung dengan satu jamaah, dia harus merelakan sebagian dari keinginan, harapan, tenaga, pikiran, waktu dan bahkan juga hatinya untuk mencapai tujuan bersama dari jamaah yang diikutinya. Dan ketika seorang anggota tidak mampu mengalahkan egonya demi kepentingan jamaahnya, yang terjadi hanyalah ketidaksesuaian antara gerak anggota yang bersangkutan dengan gerak jamaah yang diikutinya.

4. Lemahnya kepemimpinan
Satu contoh nyata kepemimpinan yang handal, jelas tertulis dalam sejarah dan dijadikan contoh sampai saat ini adalah kepemimpinan dan keteladanan dari rasulullah dan para sahabat. Atau bila merasa bahwa contoh dari mereka terlalu jauh untuk dijangkau oleh kita, mungkin kisah nyata berikut ini dapat pula dijadikan bahan pelajaran bagi calon-calon pemimpin.
Sekitar tahun 90-an, ditemukan sekelompok tim mapala yang meskipun tinggal tulang berbalut kulit, semua anggota tim selamat. Satu hal yang mencengangkan adalah, mereka berhasil selamat dari keganasan hutan belantara di Sumatra setelah sekian minggu dinyatakan hilang. Sementara, batas minimal kemampuan manusia tanpa asupan makanan yang berarti telah terlewati. Selamatnya satu tim itu membuktikan kehandalan pemimpin tim mereka. Seperti yang telah diketahui, secara psikologis manusia akan cenderung menjadi agresif dan irasional bila mereka berada dalam keadaan panik, takut dan juga lapar. Dalam kasus itu, pemimpin itu berhasil memompakan semangat untuk tetap survive pada masing-masing anggotanya hingga mereka dapat tetap bekerjasama yang membuahkan keselamatan mereka, meski bahkan sepatu kulit merekapun menjadi bahan makanan mereka untuk tetap bertahan hidup.

Kepemimpinan yang handal merupakan unsur yang harus dimiliki oleh tiap organisasi. Pemimpin yang handal akan mampu memanajemen berbagai unsur dan memadukan berbagai pribadi serta ego hingga masing-masing anggota mampu bekerjasama. Untuk mewujudkan itu diperlukan sebuah pribadi yang bermental kuat dan memiliki pemikiran yang matang. Banyak hal yang dapat mempengaruhi faktor lemahnya kepemimpinan ini antara lain : lemahnya pribadi dari pemimpin yang bersangkutan, kurangnya kontrol dari pemimpin terhadap anggotanya, ketidak sesuaian antara ucapan dengan realita yang dilakukan oleh pemimpin itu sendiri. Efek negatif yang mungkin timbul adalah tidak lagi didengarnya komando dari pimpinan itu sendiri. Selain itu, adanya tarik menarik antar berbagai kepentingan dari kaum elit jamaah yang bersangkutan juga dapat dijadikan sebagai indikasi lemahnya kepemimpinan. Dan ketika dalam suatu organisasi muncul faktor kelemahan kepemimpinan ini, maka peluang munculnya berbagai penyimpangan dari anggotapun akan sangat besar terjadi.

Ketidakseimbangan antara pengetahuan dan kematangan pribadi
Ketika anggota maupun pemimpin jamaah memiliki kualitas pengetahuan yang meningkat, namun tidak diimbangi dengan meningkatnya kematangan pribadinya, kemungkinan yang akan terjadi adalah munculnya gerak anggota tersebut yang kadang “mengejutkan”.

Ada satu contoh kasus menarik dalam hal ini : ketika menghadapi krisis SDM yang berkualitas,sebuah organisasi memutuskan untuk melakukan program peningkatan kualitas anggota barunya. Anggota elit organisasi itu mengerahkan segala kemampuan dan ilmunya untuk membentuk SDM yang handal baik di lapangan maupun organisasi. Bahkan ilmu-ilmu penemuan merekapun diajarkan kepada anggota tersebut. Hasilnya? Terbentuklah satu angkatan eksklusif dengan keahlian terbaik yang pernah dihasilkan oleh organisasi itu. Namun ternyata, barulah disadari bahwa akhirnya segelintir anggota tersebut menjadi besar kepala hingga bahkan meremehkan senior-senior mereka. Puncaknya, 5 orang dari kelompok eksklusif tersebut diketahui membocorkan “ilmu-ilmu rahasia” organisasi mereka pada organisasi lain yang sejenis dengan menjadi instruktur maupun pejabat inti dari organisasi rival mereka. Saat diadakan klarifikasi, akhirnya 2 orang dari mereka mau menyadari kekeliruannya. Sedangkan 3 orang yang lain justru berbalik menentang hingga akhirnya mereka dikeluarkan dengan tidak hormat melalui forum musyawarah anggota. Akibatnya, perpecahanpun terjadi antara anggota yang tersisa. Sebagian tetap membela, sebagian yang lain mendukung pemecatan tiga anggota tersebut. Yang lebih ekstrim, salah satu tim eksklusif tersebut menyatakan mengundurkan diri demi mendukung teman2 mereka. Meski di kemudian hari, akhirnya dia menyatakan menyesal atas keputusan yang dibuatnya sendiri.

Dari kasus diatas, jelas nyata terlihat akibat negatif dari tidak seimbangnya kualitas pengetahuan dengan kematangan pribadi terhadap kelangsungan organisasi

5. Potensi anggota yang tidak tersalurkan
Unsur ini juga menjadi salah satu faktor yang penting untuk diperhatikan oleh tiap aktivis suatu organisasi. Kasus pemecatan ketiga anggota seperti yang tertulis diatas dapat dijadikan contoh nyata pula. Pada saat Dewan Kehormatan dari organisasi tersebut melakukan pengusutan, ditemukan bahwa motivasi salah satu pelaku penyimpangan hanyalah karena ingin menunjukkan eksistensinya. Sebelum kasus tersebut terjadi, perilaku kontroversial dari anggota yang bersangkutan membuat aktivitasnya tidak “populer” dimata teman-temannya. Akibatnya, anggota tersebut merasa tidak berarti di mata teman-teman “seperjuangannya”. Hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk mencoba menunjukkan eksistensinya, dia ingin menunjukkan bahwa diapun mampu melakukan sesuatu yang membanggakan. Namun saat diklarifikasi, prasangka buruk terhadap saudara-saudaranya sendiri membuatnya justru terpisah dengan mereka. Hal-hal yang tidak diinginkan seperti ini tentu tidak akan terjadi bila dia tidak merasa “tersisih” sehingga potensi besar yang dimilikinya justru disalurkannya ke organisasi yang lain.
Cerita-cerita diatas termasuk salah satu dari sekian banyak kasus yang pernah terjadi dalam satu organisasi. Tentunya masih ada beberapa hal lagi yang dapat mempengaruhi maju mundurnya suatu organisasi. Dan saat faktor-faktor tersebut muncul, maka bersiaplah untuk menjemput kemunduran. Adalah kewajiban bagi tiap-tiap individu yang bergabung dalam satu jamaah untuk bercermin dari tiap peristiwa yang muncul dan mengambil pelajaran sehingga tidak akan terjadi pada organisasi yang digelutinya. Beruntunglah bila dia memutuskan untuk bergabung dalam satu harakah yang dibenarkan dalam Islam. Karena apapun yang akan dilakukannya untuk kemajuan jamaah itu insya Allah akan bernilai pahala untuknya. Tapi bagaimana bila jamaah yang diikutinya bertentangan dengan syariat Islam? Mungkin di satu sisi dia akan merasakan kepuasan dan kesenangan meski disisi lain, mungkin dia akan merasakan kekosongan. Sebaliknya, bagaimana bila justru dia merasakan tekanan dan ketidakpuasan saat bergabung dengan jamaah yang mengklaim diri mereka sesuai dengan syariat Islam?Ada dua kemungkinan jawaban :

1.Ada yang salah dalam penerapan sistem jamaah itu, atau
2.Perlu dievaluasi kembali motivasi dasar dari anggota yang bersangkutan hingga dia merasakan adanya tekanan/ketidakpuasan dalam jamaah tersebut. Sekarang, semoga pembaca dapat mencoba untuk mengevaluasi kembali, sampai dimana perkembangan dari masing-masing jamaah yang diikutinya?

Jurnal Muslimah

MA’RIFATUL RASUL oleh : Syaikh Utsaimin

Ar-Rusul bentuk jamak dari kata “rasul”, yang berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun yang dimaksud “rasul” di sini adalah orang yang diberi wahyu syara’ untuk disampaikan kepada umat.

Rasul yang pertama adalah Nabiyullah Nuh, dan yang terakhir adalah Nabiyullah Muhammad. Allah berfirman, yang artinya :
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya…” (An Nisaa 163)
Anas bin Malik dalam hadits syafaat menceritakan bahwa Nabi mengatakan, nanti orang-orang akan datang kepada Nabi Adam untuk meminta syafaat, tetapi Nabi Adam meminta maaf kepada mereka seraya berkata “Datangilah Nuh, rasul pertama yang diutus Allah…” (Al Bukhari)
Allah berfirman tentang Nabi Muhammad, yang artinya
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Ahzab 40)
Setiap umat tidak pernah sunyi dari nabi yang diutus Allah yang membawa syariat khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syariat sebelumnya yang diperbarui. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut…” (An Nahl 36)
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” (Fathir 24)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi…” (Al Maaidah 44)
Para rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikit pun keistimewaan rububiyah dan uluhiyah. Allah berfirman tentang Nabi Muhammad sebagai pimpinan para rasul dan yang paling tinggi pangkatnya di sisi Allah.
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al A’raaf 188)
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan. Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tidak seorang pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tidak akan memperoleh tempat berlindung daripada-Nya.” (Al Jin 21-22)
Para rasul juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti sakit, mati, membutuhkan makan dan minum, dan lain sebagainya. Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim yang menjelaskan sifat Rabbnya, yang artinya:
“dan Rabbku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)…” (Asy Syu’araa 79-81)
Nabi Muhammad bersabda :
“Aku tidak lain hanyalah manusia seperti kalian. Aku juga lupa seperti kalian. Karenanya, jika aku lupa, ingatkanlah.”
Allah menerangkan bahwa para rasul mempunyai ubudiyah (penghambaan) yang tertinggi kepada-Nya. Untuk memuji mereka, Allah berfirman tentang Nabi Nuh, yang artinya:

“…dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al Israa 3)
Allah Ta’ala juga berfirman tentang Nabi Muhammad, yang artinya:
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Al Furqan :1)
Allah juga berfirman tentang Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, dan Nabi Yaqub, yang artinya:
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Yaqub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (Shaad 45-47)
Allah juga berfirman tentang Nabi Isa bin Maryam, yang artinya :
“Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil.” (Az Zukhruf 59)
Iman kepada para rasul mengandung empat unsur:
1. Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah. Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka menurut pendapat seluruh ulama dia dikatakan kafir. Allah berfirman, yang artinya :
“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (Asy Syu’araa 105)
Allah menjadikan mereka mendustakan semua rasul, padahal hanya seorang rasul saja yang ada ketika mereka mendustakannya. Oleh karena itu umat Nasrani yang mendustakan dan tidak mau mengikuti nabi Muhammad n, berarti mereka juga telah mendustakan dan tidak mengikuti Nabi Isa Al Masih bin Maryam, karena Nabi Isa sendiri pernah menyampaikan kabar gembira dengan akan datangnya Nabi Muhammad n ke alam semesta ini sebagai rahmat bagi semesta alam. Kata “memberi kabar gembira” ini mengandung makna bahwa Muhammad adalah seorang rasul mereka yang menyebabkan Allah menyelamatkan mereka dari kesesatan dan memberi petunjuk kepada mereka jalan yang lurus. .

2. Mengimani orang-orang yang sudah kita kenali nama-namanya, misalnya Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa dan Nuh (i). Kelima nabi rasul itu adalah rasul “Ulul Azmi”. Allah telah menyebutkan mereka dalam dua tempat dari Al Qur’an, yakni dalam surat Al Ahzab dan surat Asy Syura, yang artinya:

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam…” (Al Ahzab 7)
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya…” (Asy Syuura 13)
Terhadap para rasul yang tidak kenal nama-namanya, juga wajib kita imani secara global. Allah berfirman, yang artinya :

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…” (Al Mu'’in 78)


3. Membenarkan berita-berita mereka yang benar.

4, Mengamalkan syariat orang dari mereka yang diutus kepada kita. Dia adalah nabi terakhir Muhammad yang diutus Allah kepada seluruh manusia. Allah berfirman, yang artinya:

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa 65)

Buah Iman kepada rasul-rasul :
1. Mengetahui rahmat serta perhatian Allah kepada hamba-hamba-Nya sehingga mengutus para rasul untuk menunjuki mereka pada jalan Allah serta menjelaskan bagaimana seharusnya mereka menyembah Allah, karena memang akal manusia tidak bisa mengetahui hal itu dengan sendirinya.

2. Mensyukuri nikmat Allah yang amat besar ini.

3. Mencintai para rasul, mengagungkannya, serta memujinya, karena mereka adalah para rasul Allah, dan karena mereka hanya menyembah Allah, menyampaikan risalah-Nya, dan menasihati hamba-Nya.
Orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mendustakan para rasul dengan menganggap bahwa para rasul Allah bukan manusia. Anggapan yang salah ini dijelaskan Allah dalam sebuah firman-Nya:
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka: “Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?” (Al Israa 94)
Dalam ayat di atas Allah mematahkan anggapan mereka yang keliru. Rasul Allah harus dari golongan manusia, karena ia akan diutus kepada penduduk bumi yang juga manusia. Seandainya penduduk bumi itu malaikat, pasti Allah akan menurunkan malaikat dari langit sebagai rasul.
Di dalam surat Ibrahim Allah menceritakan orang-orang yang mendustakan para rasul.

“Mereka (orang-orang yang mendustakan rasul) berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi kami dari apa yang selalu disembah oleh nenek moyang kami. Karena itu, datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.”Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan ijin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.” (Ibrahim 10-11)

sumber : alsofwah.or.id

MA’RIFATULLAH oleh : Syaikh Utsaimin

Iman kepada Allah mengandung empat unsur :
1.Mengimani Wujud Allah
Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indera.
a. Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya. Rasulullah bersabda :
“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang meyahudikan, mengkristenkan, atau yang memajusikannya.” (HR. Al-Bukhori)

b. Bukti akal tentang wujud Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.
Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.
Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
Allah menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath Thuur:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath Thuur 35)
Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah.

Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat ini :
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa?” (Ath Thuur 35-37)
“Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al -Bukhari)
Dalam hal ini kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang berkata kepada Anda tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada Anda bahwa istana dengan segala kesempurnaannya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti Anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini kami bertanya pada Anda, masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang berada di dalamnya tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?!

c. Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.

d. Bukti indera tentang wujud Allah dapat dibagi menjadi dua:
• Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah.
Allah berfirman :
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (Al Anbiyaa 76) “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu…” (Al Anfaal :9)
Anas bin Malik berkata, “Pernah ada seorang badui datang pada hari Jum’at. Pada waktu itu Nabi tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata, “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah untuk mengatasi kesulitan kami.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada hari Jum’at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta benda pun tenggelam, doakanlah akan kami ini (agar selamat) kepada Allah.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa: “Ya Rabbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan janganlah Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami.” Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat, kecuali menjadi terang (tanpa hujan).” (HR. Al Bukhari)
• Tanda-tanda para nabi yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud Yang Mengutus para nabi tersebut, yaitu Allah, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para rasul.
Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman, yang artinya :
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (Asy Syu’araa 63)
Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah.
“…dan aku menghidupkan orang mati dengan seijin Allah…” (Al Imran 49)
“…dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan ijin-Ku…” (Al Maidah :110)
Contoh ketiga adalah mukjizat Nabi Muhammad ketika kaum Quraisy meminta tanda atau mukjizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat menyaksikannya. Allah berfirman tentang hal ini, yang artinya:
“Telah dekat (datangnya) saat (Kiamat) dan telah terbelah pula bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (Al Qomar : 1-2)
Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujud-Nya.
2.Mengimani Rububiyah Allah
Mengimani rububiyah Allah maksudnya mengimani sepenuhnya bahwa Dialah Rabb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya.
Rabb adalah Yang berhak menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada Pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah dari-Nya. Allah telah berfirman, yang artinya:
“…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (Al A’raaf : 54)
“…Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (Faathir13)
Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah, kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir’aun ketika berkata kepada kaumnya, ”Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (An Naazi’aat 24), dan juga ketika berkata, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (Al Qashash : 38)
Allah berfirman, yang artinya :
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (An Naml :14)
Nabi Musa berkata kepada Fir’aun: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa.” (Al Israa’ : 102)
Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan). Allah berfirman, yang artinya ;
“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: ‘Apakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (Al Mu’minuun 84-89)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab, “Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Az Zukhru : 9)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Az Zukhruf 87) Perintah Allah mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara’ (syar’i). Dia adalah pengatur alam, sekaligus sebagai pemutus segala perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga pemutus peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu barangsiapa menyekutukan Allah dengan seorang pemutus ibadah atau pemutus muamalat, maka dia berarti telah menyekutukan Allah serta tidak mengimani-Nya.

3.Mengimani Uluhiyah Allah
Artinya, benar-benar mengimani bahwa Dialah ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Al-Ilah artinya “al-ma’luh”, yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah berfirman, yang artinya :
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah 163)
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al Imran 18)
Allah berfirman tentang Lata, Uzza, dan Manat yang disebut sebagai Tuhan, namun tidak diberi hak uluhiyah.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya ;
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya…” (An Najm 23)
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah, uluhiyahnya adalah batil. Allah Ta’ala Ta’ala berfirman, yang artinya ;
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Al Hajj :62)
Allah juga berfirman tentang Nabi Yusuf yang berkata kepada dua temannya di penjara, yang artinya: “Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu…” (Yusuf 40)
Oleh karena itu para rasul berkata kepada kaum-kaumnya :“Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (Al Mu’minun 32)
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil tuhan selain Allah. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah.
Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah dengan dua bukti:
a. Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak memiliki hidup dan mati, tidak memiliki sedikit pun dari langit dan tidak pula ikut memiliki keseluruhannya. Allah berfirman, yang artinya:
“Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (Al Furqan 3)
“Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diijinkan-Nya memperoleh syafaat…” (Saba’ 22-23)
“Apakah mereka mempersekutukan Allah (dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al A’raaf 191-192)
Kalau demikian keadaan tuhan-tuhan itu, maka sungguh sangat tolol dan sangat batil bila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.
b. Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang ditangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan rububiyah (ketuhanan) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah 21-22)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Az Zukhruf 87)
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus 31-32)

4.Mengimani Asma dan Sifat Allah
Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yakni menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah Rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan), ta’thil (penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana?), dan tamsil (menyerupakan).
Allah berfirman, yang artinya :
“Allah mempunyai asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al A’raaf 180)
“…Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi; dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (An Nahl 60)
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuura 11)
Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu:

1. Golongan Mu’aththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut perkiraan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

Pendapat ini jelas keliru karena:
a. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyalahi sebagian yang lain.

b. Kecocokan antara dua hal dalam nama dan sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengarannya, penglihatannya, dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki, dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama. Apabila antara makhluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.

2. Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain:

a. Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al Qur’an atau Sunnah rasul menunjukkan pengertian yang bathil.

b. Allah Ta’ala berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja.

Apabila Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak maklum, karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau pada makhluk sekali pun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda.

Apabila Allah memberitahuan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas Arsy-Nya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui.

Buah Iman kepada Allah:
1. Merealisasikan pengesaan Allah sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mahatinggi.
3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.

sumber : alsofwah.or.id

Pengertian Amal dan Ibadah

Kata amal artinya pekerjaan. Dalam bahasa Arab kata amal dipakai untuk semua bentuk pekerjaan. Tidak seperti anggapan sebagian masyarakat Muslim, yang mengembalikan kata amal dengan kata ibadah dan memahaminya sebatas kegiatan ritual seperti pergi ke masjid, membaca Alquran, shalat, puasa, haji, zakat, sedekah, dan sebagainya.
Dalam Alquran, kata amal terbagi kepada 'amalus-shalih (pekerjaan baik) dan 'amalun ghairus-shalih (pekerjaan yang tidak baik). 'Amalun ghairus-shalih disebut pula dengan 'amalus-sayyi-ah (amal salah), termasuk pula ke dalam kategori ini 'amalus-syaithan (pekerjaan setan) dan 'amalus-mufsidin (pekerjaan pelaku kebinasaan). Umat Islam diperintah melakukan 'amalus-shalih dan wajib menjauhi 'amalus-sayyi-ah.
Ada firman Allah SWT, ''Siapa yang mengerjakan kebaikan dia mendapat pahala dari perbuatannya itu dan siapa yang mengerjakan kejahatan maka orang yang melakukan kejahatan itu tidak dibalas kecuali menurut apa yang dikerjakannya.'' (Al-Qasas: 84).
Adapun kata ibadah artinya penyembahan atau pengabdian. Firman Allah SWT, ''Wahai sekalian manusia! Mengabdilah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan menciptakan orang-orang sebelummu, mudah-mudahan kamu bertakwa.'' (Al-Baqarah: 21). Ayat ini sekaligus menjelaskan bahwa yang namanya pengabdian dilakukan makhluk kepada khaliknya. Sesuai dengan bacaan shalat dalam surat Al-Fatihah ayat 5, ''Kepada-Mu saja (ya Allah) kami mengabdi dan kepada-Mu saja kami minta pertolongan.'' Pemahaman seperti ini menolak adanya istilah pengabdian kepada selain Allah SWT.
Memelihara dan memajukan bangsa dan tanah air, memakmurkan masyarakat, serta berbuat baik terhadap orang tua dan lain-lain, adalah bagian dari pengabdian kepada Allah SWT. Lalu apakah ibadah itu? Berdasarkan beberapa ayat Alquran dan hadis Rasulullah SAW, sekelompok ulama mendefinisikan ibadah sebagai berikut, ''Ibadah ialah usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan jalan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah umum adalah segala amal yang diizinkan Allah dan yang khusus ialah apa yang sudah ditetapkan perincian-perinciannya, tingkat, dan cara-caranya yang tertentu.''
Jadi, ibadah meliputi ibadah mahdhah (wajib) dan semua pekerjaan manusia yang dibenarkan Allah SWT atas niat karena Allah untuk mencari ridha Allah serta dengan mengindahkan segala ketentuan-Nya di sepanjang pelaksanaan pekerjaan itu. Sehingga, sinkronlah dengan firman Allah SWT dalam surat Az-Zariyaat ayat 56, ''Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, kecuali untuk semata-mata mengabdi kepada-Ku.'' Sejalan pula dengan pengakuan Muslim ketika membaca doa iftitah dalam shalat, sesuai dengan surat Al-An'am ayat 162, ''Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup, dan matiku hanya untuk Allah pengatur alam semesta.'' Wallahu a'lam. (Nasril Zainun)

sumber : republika



PENTINGNYA IBADAH

Wahai manusia beribadahlah untuk Rabbmu ysng menciptakanmu dsn orang-orang sebelummu agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan (untuk tempat tinggal), langit sebagai atap dan menurunkan air hujan dari langit kemudian dengan air iru Dia keluarkan buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu menjadikan tandingan-tandingan (sekutu-sekutu) bagi Allah padahal kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 21-22)
Dalam ayat di atas dijelaskan kalau manusia diciptakan Allah dengan tujuan agar manusia beribadah pada-Nya. Ada sebuah pertanyaan yang ada dalam benak kita, “kenapa kita harus beribadah kepada Allah?” Jawabnya ; karena Allah yang menciptakan kita dan memberi kita tempat tinggal dibumi ini dan memberikan rizki dari buah-buahan untuk menjamin kesejahteraah hidup kita dan pastinya kita semua ini menjadi orang-orang yang bertakwa. Kemudian ada pertanyaan lagi yang terbesit dipikiran kita, “kenapa kita harus bertakwa kepada Allah?” jawabnya yaitu supaya kita menjadi manusia yang mulia.
Syaikh Ibnu Taimiyah rahimatulullah mengatakan
“ ibadah adalah kata benda jamak yang menyatakan apa saja yang dicintai dan diridhoi Allah, mencakup perkataan dan perbuatan, baik yang lahir (tampak) maupun yang bathin (tak tampak).”
Berdasarkan pernyataan di atas dapat kita ketahui bahwa perkataan dan perbuatan apa saja yang dapat mengakibatkan cinta dan ridho Allah dapat disebut ibadah. Sekarang sudah jelas bahwa ibadah yang ditujukan hanya karena cinta dan ridho Allah semata, baik itu perkataan dan perbuatan yang tampak maupun tidak itu disebut ibadah. Untuk itu semua amalan apapun yang kita kerjakan, perembahkanlah hanya karena Allah semata karena hal itu akan dinilai sebagai ibadah dan hasilnya akan kita petik dihari akhir nanti.
Perbuatan dan perkataan yang bernilai ibadah hanya dapat kita ketahui dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, serta praktek para sahabat dan para shalih-shalih yang setia mengikuti dan mengamalkan sunnah Rasulullah . mengapa demikian? Karena Rasulullah SAW adalah manusia yang dipilih oleh Allah untuk menerima wahyu yang berisalah dari Allah dan tahu persis perkataan dan perbuatan, yang dikenal dengan sunnah Rasul. Allah berfirman :
“ Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu bagi yang mengharapkan (rahmat) hari akhir dan dia banyak menyebut nama Allah”.(Q.S. Al-Ahzab :21)
“Dan apa saja yang datang dari Rasul untuk kamu maka ambillah dan apa saja yang dilarang (untuk) kamu maka jauhilah(Q.S. Al-Hasr : 7)
Kaum Muhajirin dan Anshar adalah orang yang bertemu langsung dengan Rasulullah SAW sehingga tahu persis tentang perkataan dan perbuatan Rasulullah. Demikian pula, orang-orang yang bertemu langsung dengan para sahabat, yang dengan setia mengikuti jejak Rasulullah SAW dan para shalih yaitu orang-orang yang tahu betul bagaimana para sahabat mempraktekkan sunnah Raulullah pada zamannya, sehingga Allah Ta’ala ridho terhadapnya. Sebagaimana firman Allah :
“ orang-orang terdahulu generasi awal (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho kepada Allah maka Allah sediakan bagi meraka surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”(Q.S. At-Taubah : 100)
Dalam Alqur’an surat an-Naba’ 31-37 allah melukiskan surga dengan gambaran yang sangat dekat dengan nikmat-nikmat dalam keseharian kita. “ sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan. Yaitu kebun-kebun dan buah anggur dan gadis-gadis sebaya dan gelas-gelas yang penuh (dengan minuman). Dialamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-siadan tidak pula dusta, sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak, tuhan yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya.”
Sekarang bagaimana dengan neraka yang kabarnya sangat menakutkan !!!
Mendengar kata neraka, pasti yang ada dalam benak kita pasti kengerian-kengerian yang ada di dalamnya. Neraka yang penuh denga api yang bergejolak yang bahan bakarnya dari manusia dan batu. Meraung dengan mengerikan, marah pada manusia-manusia yang malah pada ngantri untuk memasukinya lantaran mereka adalah orang-orang yang melampaui batas dan orang-orang kafir dan meraka tinggal didalamnya berabad-abad lamanya. Coba bayangkan bagaimana panasnya dineraka? Di dunia saja bila kita berjalan ditengah terik matahari, yang pastinya membuat kita kepanasan dan gerah. Atau bisa kita coba, dengan merasakan panasnya korek api yang bila kita dekatkan diujung jari kita, bagaimanakah rasanya? Itu baru panasnya dunia, belum panasnya neraka.
Ada banyak alasan yang membuat kita mulai sekarang harus bersungguh-sungguh dalam setiap ibadah kita. Alasan pertama : Ibadah merupakan kesempatan besar untuk meraih cintaNya. Bukankah bila kita mendekat sejengkal maka Ia akan mendekat sehasta. Maka yakinlah bahwa Allah sungguh-sungguh mencintai kita.
Kedua : harus tahu umur kita sampai mana? Bisa jadi besok, hari ini dan bahkan detik ini juga. Dan kita juga tidak tahu kapan umur kita akan berhenti. Maka dari itu kita optimalkan hari-hari kita dengan beribadah kepada Allah SWT. Jadikanlah hari esok lebih baik dari sekarang. Supaya kita termasuk orang-orang yang beruntung.
Ketiga : sekarang kamu hitung berat dosa kamu dengan pahala kamu. Kira-kira berat mana? Dosa ataukah pahala kamu? Dan kalau kita tahu kalau kita banyak dosanya sementara pahala kita juga sedikit. Kalau kita sudah tahu bahwa dosa kita banyak maka kita harus tahu bagaimana menambah porsi pahala kita yaitu dengan beribadah kepada Allah dengan sungguh-sungguh sehingga Allah mengampuni dosa kita.dan kita akan mendapat pahala dari Allah SWT.
Keempat mari kita beli tiket yang sangat diidam-idamkan semua orang yaitu tiket surga. Bagaimanakah kita mendapatkannya? Tidak semua orang itu akan dapat memiliki tiket tersebut karena hanya orang yang bertakwa dan berimanlah yang akan mendapatkannya. Sekarang tanyakan kepada diri kamu sendiri apakah kamu sudah menjalankan kwajibannya? Seperti Sholat Fardhu, puasa romadhon, berbakti kepada orang tua ataukah kita sudah beramal shalih lainnya? Dan apakah kita sudah meningalkan larangannya?????hanya kamu senditi yang bisa menjawabnya…..



PENTINGNYA NIAT DALAM IBADAH


Diterimanya ibadah kita oleh Allah masih sangat tergantung pada niat kita, yakini untuk apa kita beribadah, apakah karena ingin mendapatkan cintanya Allah dan ridhonya ataukah kita ingin mendapatkan keuntungan duniawi semata. Hal ini dapat kita ketahui dari hadits berikut ;
“Umar bin Khatab berkata ; “saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda ; Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat. Dan tiap-tiap urusan tergantung untuk apa diniatkan. Oleh karena itu, barang siapa berhijrah karena Allah maka hijrahnya akan diterima oleh Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa berhijrah karena menghendaki keuntungan duniawi atau karena ada perempuan yang ingin dinikahi maka hijrahnya akan mendapatkan apa-apa yang diniatkan.”(HR. Bukhori-Muslim).
Walaupun hijrah adalah perbuatan yang bernilai ibadah tetapi apabila dilakukan dengan niat bukan untuk mendapakan cinta dan ridho dari Allah semata maka hijrah tersebut tidak akan diterima oleh Allah SWT. Demikian pula shalat kita yang dilakukan karena ingin mendapat pujian dari manusia atau karena riya’ bukan diniatkan karena Allah semata maka hal tersebut tidak akan dinilai ibadah.
“Dan tidaklah mereka itu diperintahkan kecuali beribadah kepada Allah dengan ikhlas kepadanya dalam agama yang lurus.”(QS. Al-Bayinnah:5)
Kedudukan niat ibadah itu terletak dalam hati seseorang sehingga Allah yang mengetahui. Dan kualitas seseorang dalam beribadah itu sangat tergantung pada kualitas imannya. Oleh karena itu, orang-orang kafir tidak dinilai amal perbuatannya disisi Allah karena orang-orang kafir tersebut tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Sebagaimana firman Allah ;
“Katakanlah, Apakah akan kami beritahukan kepadmu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia itu. Sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah. Dan perjumpaan dengan-Nya, maka hapuslah amal-amalannya, dan kami tidak akan melakukan penilaian terhadap amalan mereka terhadap hari kiamat.”(QS. Al-Kahfi :103-105).

Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan Tujuan Aqidah Islam

Aqidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang, yaitu:

1. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah kepada Allah satu-satunya. Karena Dia adalah Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan kepada-Nya satu-satunya.
2. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah ini, adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi yang dapat diindera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat.
3. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur. Hakim yang Membuat tasyri’. Oleh karena itu hatinya menerima takdir, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.
4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani para rasul yang mengandung mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan beramal baik kecuali digunakannya dengan mengharap pahala serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.
6. “Dan masing-masing orang yang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al An’am 132)
Nabi Muhammad SAW juga mengimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya:
“Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah dan jangan lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah engkau katakan: Seandainya aku kerjakan begini dan begitu. Akan tetapi katakanlah: Itu takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki Dia lakukan. Sesungguhnya mengandai-andai itu membuka perbuatan setan.” (muslim)
7. Mencintai umat yang kuat yang mengerahkan segala yang mahal maupun yang murah untuk menegakkan agamanya serta memperkuat tiang penyanggahnya tanpa perduli apa yang akan terjadi untuk menempuh jalan itu.
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurat 15)
8. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki individu-individu maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl 97)
Inilah sebagian dari tujuan akidah Islam. Kami mengharap agar Allah merealisasikannya kepada kami dan seluruh umat Islam.

sumber : alsofwah.or.id

Berprestasi Dengan Motivasi

Salah satu kunci agar kita bisa sukses hidup di dunia adalah motivasi. Makin besar motivasi kita untuk memperbaiki diri dan maju, kemungkinan sukses pun akan kian besar.

Motivasi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat harapannya terhadap sesuatu. Karena itu, ada tiga hal yang berkaitan erat denga prestasi, yaitu :

1. prestasi itu sendiri,

2. motivasi, dan

3. harapan.

Prestasi bisa diraih karena adanya motivasi dan motivasi akan tumbuh jika ada harapan.

Banyak manusia lebih sering mengeluarkan alasan ketimbang berbuat. Lebih mengkhawatirkan, semua itu terlahir hanya untuk menutupi kemalasan dan kegagalannya.

Ketika ditanya, misalnya, "Mengapa Anda tidak kuliah?"

Jawaban yang sering muncul adalah tidak punya uang, atau karena orang tua tidak sanggup membiayai, minder, dan sebagainya. Padahal, jika seseorang mau berbuat, semua itu bisa disiasati. Bisa dengan cara berwirausaha, atau mendapatkan beasiswa.

Begitu pula ketika ditanya, "Mengapa tidak mencoba berbisnis?"

Jawaban yang sering terlontar terlihat fatalis: takut gagal, tidak punya modal, banyak saingan, dan sebagainya. Karena itu, jangan heran jika kita tidak pernah maju. Bagaimana mau maju, motivasi untuk maju saja tidak ada?

Sebaik-baik sumber motivasi adalah ridha Allah SWT. Prestasi tertinggi seseorang dalam hal ini adalah mendapatkan surga. Sebaliknya, sumber motivasi terendah adalah dunia. Bila motivasi seseorang hanya tertuju pada dunia, yakinlah bahwa hanya kekecewaan yang akan ia dapatkan.

Seseorang yang berbisnis karena mencari dunia semata, akan kecewa bila bisnisnya merugi. Tapi bagi orang yang berbisnis karena Allah, setiap kegagalan bermakna pengalaman berharga untuk tidak jatuh dalam kegagalan serupa.

Ia juga akan menyadari bahwa semua terjadi karena izin Allah. Ia sadar bahwa keinginannya belum tentu sesuai menurut Allah. Tugasnya hanya meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar, perkara hasil ada di tangan Allah sepenuhnya. Inilah hakikat motivasi menuju prestasi yang hakiki. (Ems/MQ).*

sumber : republika Online